Jika UU Perampasan Aset Disahkan, Apa Saja Aset yang Bisa Negara Rampas?
Presiden Joko Widodo (Jokowi) mendorong DPR segera menyelesaikan Rancangan Undang-Undang (RUU) Perampasan Aset.
Menko Polhukam Mahfud Md pun sempat pula berkata demikian.
“RUU Perampasan Aset itu memang inisiatif dari pemerintah dan terus kita dorong agar itu segera terselesaikan oleh DPR,” kata Jokowi setelah meninjau Pasar Johar Baru, Jakarta Pusat, Rabu (5/4/2023).
“Dan ini prosesnya sudah berjalan,” imbuhnya.
Mantan Juru Bicara KPK yang kini berprofesi sebagai advokat, Febri Diansyah, ikut-ikutan membahas soal RUU Perampasan Aset ini. Dia merujuk pada naskah akademik dari RUU Perampasan Aset itu dari situs resmi Badan Pembinaan Hukum Nasional (BPHN) Kemenkumham.
“Agar tidak salah paham di awal, kita perlu tahu RUU Perampasan Aset ini bukan hanya untuk merampas aset hasil korupsi. Tapi semua aset terkait tindak pidana dengan nilai lebih besar dari Rp 100 juta dan ancaman pidana di atas 4 tahun,” ucap Febri melalui akun Twitternya, Minggu (9/4/2023). Ejaan cuitan sudah sesuai PUEBI.
Dalam RUU Perampasan Aset itu ada 11 jenis aset yang bisa negara rampas. Salah satunya Febri menyebutkan cukup mengejutkan yaitu di Pasal 2 angka (1) huruf (k).
Berikut 11 aset yang dapat negara rampas berdasarkan Rancangan UU Perampasan Aset jika disahkan :
Pasal 2
(1) Aset yang dapat negara rampas berdasarkan Undang-Undang ini meliputi:
a. Aset yang perolehannya secara langsung atau tidak langsung dari tindak pidana
b. Aset dari tindak pidana yang telah terhibahkan atau terkonversikan menjadi harta kekayaan pribadi, orang lain, atau Korporasi. Baik berupa modal, pendapatan, maupun keuntungan ekonomi yang terperoleh dari kekayaan tersebut;
c. Aset yang tergunakan untuk melakukan tindak pidana;
d. Aset tindak pidana dari terpidana tidak menjadi uang pengganti, aset tindak pindana terkait lansung dengan status pindana dari terpidana;
e. Aset yang tertemukan barang temuan yang dugaan kuat berasal dari tindak pidana;
f. Aset korporasi yang perolehan dari tindak pidana atau yang penggunaannya untuk melakukan tindak pidana;
g. Aset tersangka atau terdakwanya yang meninggal dunia, melarikan diri, sakit permanen, atau tidak diketahui keberadaannya pada saat terlakukan penyidikan atau proses peradilan. Yang secara perolehan dari tindak pidana atau yang penggunaannya untuk melakukan tindak pidana;
h. Aset yang terdakwanya putusan lepas dari segala tuntutan, tetapi berdasarkan bukti asetnya telah tergunakan untuk kejahatan;
i. Aset yang perkara pidananya tidak dapat tersidangkan, tetapi berdasarkan bukti asetnya telah tergunakan untuk kejahatan;
j. Aset yang perkara pidananya telah putusan bersalah oleh pengadilan yang berkekuatan hukum tetap, dan di kemudian hari ternyata diketahui terdapat aset dari tindak pidana yang belum
pernyataan terrampas;
k. Aset Pejabat Publik yang tidak seimbang dengan penghasilannya atau yang tidak seimbang dengan sumber penambahan kekayaannya. Dan tidak dapat terbuktikan asal usul perolehannya
secara sah maka Aset tersebut dapat terrampas berdasarkan Undang-Undang ini;
Kembali pada cuitan Febri. Ia menekankan bila urusan perampasan aset ini adalah antara negara dengan aset, bukan orang perorang.
“Jadi jangan berpikir tentang orang atau perusahaan yang jadi tersangka atau terdakwa dalam perampasan aset ini. Sederhananya, penyidik atau jaksa penuntut umum yang menemukan ada aset tindak pidana, mereka dapat memblokir atau menyita aset tersebut. Kemudian mengajukan permohonan perampasan aset ke pengadilan perdata,” ucap Febri.
Menurut Febri, ranah perdata itu sempat menjadi perdebatan ketika RUU ini tersusun hingga akhirnya terpilih perdata khusus. Jadi nantinya sekalipun aset yang terrampas terkait tindak pidana tapi perampasannya tanpa melalui putusan pidana.
“Jadi, aset apa saja yang bisa negara rampas? Selengkapnya cek Pasal 2 RUU tapi dugaan saya yang akan jadi perdebatan alot adalah huruf k. Mengenai aset pejabat publik yang tidak seimbang dengan penghasilan atau tidak bisa terbuktikan asal usul perolehan yang sah,” sebut Febri.
“Huruf b juga menarik. Karena keuntungan yang terperoleh dari aset hasil pidana yang menjadi modal juga termasuk aset yang bisa dirampas. Misal: A memasukkan aset hasil pidana jadi modal sebuah perusahaan. Yang bisa negara rampas bukan hanya hasil tindak pidana saja, tapi juga keuntungannya. Bagaimana menghitungnya? Tidak ada penjelasan,” imbuh Febri.
Selanjutnya Febri memaparkan tentang sejumlah celah yang bisa dimanfaatkan dalam RUU ini. Dia pun mendorong agar RUU ini benar-benar terbahas dengan baik.
*news.detik.com
Jika UU Perampasan Aset Disahkan
UT Hong Kong & Macau; Desain website oleh Cahaya Hanjuang