Renewable Energy Certificate

Penulis : Eko Sulistyo

Pura Mangkunegaran di Kota Solo, menjadi cagar budaya pertama yang memakai Renewable Energy Certificate (REC) dari PT.

PLN (Persero). Ini menandai kelistrikan di Pura Mangkunegaran berasal dari pembangkit listrik energi baru terbarukan (EBT). Pemakaian REC oleh Mangkunegaran membuktikan bahwa pelestarian budaya bisa paralel dengan pesan penggunaan EBT sebagai adaptasi dan mitigasi terhadap perubahan iklim.

Sebelumnya, awal September lalu, PLN juga telah menyerahkan REC untuk lima Istana Kepresidenan, yakni Istana Merdeka (Jakarta), Bogor, Yogyakarta, Cipanas, dan Tampaksiring, berkapasitas 12.800 megawatt-jam (MWh) per tahun.

Penyerahan REC ini menjadi penanda bahwa Istana Kepresidenan sebagai salah satu garda depan pemanfaatan listrik dari EBT. Harapaan langkah ini akan tersusul kementerian atau lembaga negara lainnya.

REC merupakan salah satu inovasi produk hijau PLN untuk mempermudah pelanggan mendapatkan pengakuan atas penggunaan EBT yang terakui internasional. Pemakai REC tidak perlu mengeluarkan biaya investasi untuk pembangunan infrastruktur.

Melalui REC, PLN menghadirkan opsi pengadaan untuk pemenuhan target sampai dengan 100 persen penggunaan EBT. REC adalah platform yang menjadi penanda, pemegang sertifikat ini menggunakan satu MWh listrik yang bersumber dari EBT.

Dengan demikian, REC adalah instrumen yang menyatakan pemilik memiliki satu MWh listrik yang merupakan hasil dari sumber EBT. Setelah daya listrik dari pembangkit EBT masuk ke jaringan, PLN mendaftarkan ke lembaga sertifikasi internasional, sebelum menjadinya komoditi produk layanan energi bersih.

Dalam praktik yang biasa berlaku di Amerika Serikat (AS), misalnya, menurut James Chen (2022), Renewable Energy Certificate (REC): Definition, Types, Example, REC yang diperoleh dapat dijual kembali ke entitas lain yang sekiranya mencemari, sebagai kredit karbon untuk mengimbangi emisi mereka. Dengan kata lain, REC dapat terjual untuk mendapatkan keuntungan bagi mereka yang ingin mengimbangi emisi karbon.

REC bertindak sebagai mekanisme penghitungan atau pelacakan untuk energi surya, angin, dan energi hijau lainnya saat mengalir ke jaringan listrik. Karena listrik hasil dari EBT tidak dapat terbedakan dari hasil oleh sumber lain, sehingga butuh REC sebagai instrumen pembuktiannya.

Penghitungan dan pengembalian energi ke jaringan ini perlu karena listrik masih sulit dan mahal untuk tersimpan dalam baterai. Jadi, sebagian besar daya yang terhasilkan, berguna bagi produsen energi untuk menyalurkan kembali ke jaringan listrik kepada pelanggan lain. Kapasitas satu REC per unit selalu setara dengan listrik satu MWh, di mana pun produksi terjadi.

Karena REC di AS adalah instrumen berbasis pasar, harga REC dapat bervariasi karena penawaran dan permintaan. Dalam praktiknya, pasar mengizinkan penyedia energi EBT untuk menghemat produksi energi, serta mengurangi emisi karbon dengan mendorong lebih banyak produksi energi hijau. REC harus dapat terhitung berdasarkan energi listrik EBT yang masuk dalam grid setiap jamnya.

Dalam kasus di Indonesia, atribusi REC masih menjadi domain PLN, sesuai dengan posisinya sebagai satu-satunya distributor dan transmitter energi listrik. PLN memastikan EBT yang berguna bagi pelanggan REC telah terverifikasi sistem tracking internasional, APX TIGRs di California, AS.

PLN juga bekerja sama dengan Clean Energy Investment Accelerator (CEIA), suatu kemitraan inovatif public-private untuk memperkuat kebijakan yang dapat meningkatkan investasi dan ketersediaan energi bersih.

Saat ini pembangkit EBT milik PLN yang terdaftar di APX adalah Pembangkit Listrik Tenaga Panas Bumi (PLTP) Kamojang berkapasitas 140 megawatt (MW), PLTP Lahendong 80 MW dan Pembangkit Listrik Tenaga Air (PLTA) Bakaru 130 MW, setara dengan 2.500.000 MWh per tahun.

Pelanggan yang lokasinya terpisah dari ketiga pembangkit itu memungkinkan menikmati layanan REC. Dari kapasitas ketiga pembangkit EBT itu, PLN dapat menerbitkan 2.500.000 unit REC.

Sampai 2025, PLN berencana menambah pendaftaran pembangkit EBT sesuai demand REC. Pembangkit itu berasal dari PLTP Ulubelu berkapasitas 110 MW, PLTP Darajat 55 MW, dan PLTA Cirata 126 MW.

REC dapat mendorong pemanfaatan EBT di Indonesia dan menciptakan iklim lingkungan lebih hijau. Pelaku industri dan swasta memiliki permintaan makin tinggi terhadap listrik dari EBT. Karena kepemilikan REC dapat meningkatkan nilai tambah bagi perusahaan yang ingin melakukan ekspor ke luar negeri.

Berdasarkan catatan PLN, hingga September 2022, sebanyak 948.152 unit REC atau setara 948.152 MWh listrik EBT telah terklaim kepemilikannya oleh 233 perusahaan. Diantara adalah perusahaan Nike, Danone, Astra, Uniqlo, PT Amerta Indah Otsuka, dan lain-lain. Ini membuktikan makin banyak perusahaan di Indonesia bergerak ke arah industri hijau dan berkelanjutan.

Dulu pelaku bisnis mencari REC di luar negeri. Saat ini PLN sudah menyediakannya, dan makin banyak perusahaan yang menggunakannya. Inilah kolaborasi PLN dengan para pelaku industri untuk mendukung transisi energi bersih di Tanah Air.

Persepsi dan paradigma transisi energi terus berkembang positif, terutama di mata pelaku sektor bisnis. Dalam perspektif ekonomi, dapat dilihat dari posisi permintaan EBT yang menunjukkan tren meningkat. Salah satunya diindikasikan dengan banyak perusahaan yang membeli listrik dengan REC.

Kini, di tengah pemerintah dan masyarakat global mendorong ekonomi hijau dan tranformasi energi, gelombang permintaan atas REC perlu terus terdorong melalui kebijakan yang menarik, agar lebih banyak perusahaan yang melakukan program netral karbon.


Penulis adalah Komisaris PT PLN (Persero).

Renewable Energy Certificate

UT Hong Kong & Macau; Desain website oleh Cahaya Hanjuang

About the author : Tim Kreatif
Tell us something about yourself.