Berdansa Dengan Kecerdasan Buatan
Tidak semua orang harus belajar teknologi informasi. Tidak semua orang harus mampu memahami bahasa pemrograman. Yang kita butuhkan adalah, kemampuan “menari” bersama AI dengan tepat pada waktu yang pas.
Dalam dua bulan, pengguna ChatGPT telah menembus 100 juta orang. ChatGPT mengungguli Tiktok yang meraih 100 juta pengguna dalam 9 bulan.
Dalam beberapa bulan terakhir, ChatGPT memang menjadi perbincangan. Kemampuan ChatGPT memang belum jago-jago amat namun telah mampu mengesankan banyak pihak. Tangkapan layar dari percakapan dengan ChatGPT pun berseliweran di media sosial.
Ada banyak pihak kemudian mengetes mesin ChatGPT. Sekedar bertanya profil teman, kenalan, selebriti, diri sendiri, hingga menanyakan siapakah perempuan terseksi di dunia. Jawabannya sungguh mengejutkan. ChatGPT menyarankan, untuk tidak memandang dari sisi fisik semata tetapi juga dari prestasi, kebijaksanaan, dan kualitas lain yang lebih berarti.
Jawaban bijak semacam itu, tidak terdapat dalam mesin pencari biasa. ChatGPT tidak ubahnya seperti manusia bijak yang melebihi jawaban rata-rata manusia yang biasanya subyektif.
Kekhawatiranpun Muncul. Bagaimana Dengan Masa Depan Manusia?
Ketika kecerdasan buatan (AI) dinilai lebih dapat memuaskan pelanggan, bagaimana dengan nasib para pekerja dengan kemampuan yang mudah direplikasi oleh mesin?
Walau pertanyaan yang lebih tepat untuk menyikapi merebaknya penggunaan AI, seharusnya adalah, bagaimana kita harus menyikapi kemajuan zaman ini? Keahlian apa yang harus kita pelajari untuk dapat beradaptasi dengan transformasi digital ini? Keahlian apa yang harus diajarkan bagi anak-anak kita nanti?
Dan, bagaimana kita dapat berdansa dengan AI? Ketika AI bukannya tarian itu sendiri, tetapi “pasangan” kita dalam menampilkan sebuah tarian. Maka, bagi kita, menjadi penting untuk saling memahami. Menjadi penting bagi kita untuk berlatih bersama dengan AI dalam mencapai kesempurnaan.
Pemerintah sendiri mencanangkan. Melalui Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi yang telah dilebur ke dalam Badan Riset dan Inovasi Nasional. Sudah meluncurkan Strategi Nasional Kecerdasan Artifisial 2020-2045 pada 2020. Strategi itu untuk menyukseskan Visi Indonesia 2045.
Walau demikian, Dr Lukas, Ketua Asosiasi Masyarakat AI Indonesia mengingatkan bahwa Indonesia sangat kekurangan tenaga terampil untuk mengembangkan AI. Dukungan riset juga masih kurang.
Tentu saja, tidak semua orang harus belajar teknologi informasi. Tidak semua orang harus mampu memahami bahasa pemrograman. Yang dibutuhkan adalah, kemampuan “menari” bersama AI dengan tepat pada waktu yang pas.
Bagaimana dengan anak-anak kita? Jelas, mereka tidak boleh hanya mempelajari keahlian-keahlian monoton yang mudah tergantikan oleh mesin AI. Bilamana telah memutuskan untuk belajar secara mendalam maka perlu mempelajari sedalam mungkin. Dan akhirnya berdansa bersama AI untuk menyempurnakan keahlian itu.
Dunia juga sedang berubah dengan begitu cepat, kemampuan beradaptasi dengan demikian adalah harga mati.
Mengutip Kompas.id
Berdansa Dengan Kecerdasan Buatan
uthkg.com; Desain Website oleh Hanjuang-klubcahaya