Dulu Pahlawan Kini Buruh SKS

Oleh : Dr. Sumbo Tinarbuko

DULU tagline Pahlawan Tanpa Tanda Jasa menjadi jenama sangat membanggakan guru dan dosen.

Sekarang tagline seperti itu menempati posisi sebaliknya, Apalagi ketika dunia pendidikan diformat ulang. Sesuai sudut pandang departemen berikut pejabat pengurus hajat hidup pekerja intelektual yang memilih profesi sebagai guru dan dosen.

Mengapa posisi tawar tagline Pahlawan Tanpa Tanda Jasa menjadi terjungkal pada titik nadir? Karena dosen tidak lagi dalam posisi pahlawan pendidikan yang memiliki jasa sosial memintarkan anak bangsa. Melainkan menjadi buruh SKS (Satuan Kredit Semester). Bekerja di bawah payung industri pabrik pendidikan. Tugasnya memproduksi gelar akademik.

Sebagai buruh SKS, dosen harus taat pada berbagai aturan yang diciptakan oleh lembaga atau departemen. Apa tujuan aturan itu? Tentu untuk mengatur posisi tawar buruh SKS agar benar-benar menjadi tawar. Setawar makna denotasi tagline Pahlawan Tanpa Tanda Jasa. Dampak sosialnya? Atas peristiwa ini mengakibatkan bersalinnya status dan predikat dosen. Mereka tidak lagi dianggap pahlawan pendidikan. Melainkan buruh SKS

Dulu Pahlawan Kini Buruh SKS

Diturunkannya Kasta

Dengan diturunkannya kasta sosial dosen menjadi buruh SKS senantiasa menorehkan jejak kebijakan yang dipersepsikan seperti halnya sebuah perumpamaan. Rela melepaskan kepala demi dapat bebas bergerak, tetapi sengaja mengikat ekor dengan erat. Harapannya agar gerakannya dapat dikendalikan lewat remote control yang dipantau dari ruang kendali lembaga dan departemen

Pada titik ini, dosen diposisikan sebagai buruh SKS. Tugas utamanya bukan lagi menjadi pengajar sekaligus pendidik dan tugas akademik lainnya yang termaktub di dalam tridharma perguruan tinggi. Apa tugasnya? Secara gamblang departemen menyodorkan isian format kinerja buruh SKS. Daftar isian kinerja yang padat dan panjang harus diisi secara detail disertai bukti resmi surat tugas.

Jika dilanggar atau dianggap tidak seperti yang tergariskan dalam format pelaporan, sang pelanggar harus rela menerima hukuman. Di antaranya, tidak akan menerima uang tunjangan sertifikasi dosen.

Sebagai buruh SKS yang terikat kontrak kerja administratif akademik, kemerdekaan mimbar akademik yang dimiliki dosen secara nyata ditelikung rezim kuasa administrasi akademik. Artinya, semua buruh SKS wajib tunduk pada rezim kuasa administrasi akademik.

Lalu apa yang terjadi kemudian? Pada titik itu, keberadaan dosen sebagai buruh SKS diformat ulang. Mereka disematkan tugas baru menjadi dosen dengan spesialisasi administrasi akademik.

Atas tugas baru itu, bagaimana nasib buruh SKS di bawah rezim kuasa administrasi? Mereka menjadi mati gaya dan hambar hidupnya. Perasaan seperti itu mencuat karena kebebasan akademik di dalam bidang pengajaran, penelitian dan pengabdian masyarakat menjadi berbeda menu sajiannya.

Aturan Berkeadilan

Dulu Pahlawan Kini Buruh SKS

Apa yang harus dilakukan? Dosen menginginkan aturan yang berkeadilan. Bukan dosen ditekuk-tekuk kebijakan berujung mendekonstruksikan fitrahnya menjadi buruh SKS dan petugas administrasi akademik.

Bukan pula dosen yang diwajibkan bekerja di bawah rezim kuasa Scopus (syarat naik pangkat setingkat lebih tinggi atau maju sebagai guru besar). Serta harus mengisi isian BKD, SKP, RPS, IKU yang sejatinya bukan tugas dosen!

Terpenting, lembaga dan departemen harus rela mengakui kinerja dosen. Mereka sudah teruji ruang dan waktu. Wujud nyata kerja dosen dapat disaksikan manakala mereka mendedikasikan dirinya menjadi pembimbing, pembombong dan pemomong.

Semuanya itu mereka lakukan demi memenuhi janji suci kepada ibu pertiwi. Seperti apa bentuk janji suci itu? Mereka berdiri pada garis terdepan guna mencerdaskan anak bangsa. Caranya? Berupaya bersungguh-sungguh memerdekakan nalar rasa dan akal pikiran siapapun dalam perspektif pendidikan.

*Penulis : Dr. Sumbo Tinarbuko (pemerhati budaya visual dan Dosen Komunikasi Visual FSR ISI Yogyakarta)

Dulu Pahlawan Kini Buruh SKS

UT Hong Kong & Macau; Desain website oleh Cahaya Hanjuang

About the author : Nunik Cho
I'm nothing but everything