Kabar Terbaru Redenominasi Rupiah
Wacana redenominasi rupiah atau penghapusan nol telah berkembang sejak lama. Namun hingga saat ini, Rancangan Undang-Undang (RUU) Redenominasi Rupiah belum ada kelanjutannya.
Padahal, RUU Redenominasi Rupiah telah masuk dalam jangka menengah melalui Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati. Dan penetapannya ada dalam Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 77/PMK.01/2020. Tentang Rencana Strategis Kementerian Keuangan Tahun 2020-2024.
Kepala Departemen Pengelolaan Uang Bank Indonesia (BI) Marlison Hakim mengungkap redenominasi merupakan wilayah pemerintah. Dalam hal ini BI hanya mengikuti.
“Kami BI siap mengikuti keputusan oleh pemerintah dalam hal ini,” kata Marlison saat memberi keterangan di Peluncuran SERAMBI 2023, Kamis (20/3/2023).
Marlinson sendiri mengaku belum mendengar mengenai pembicaraan lebih lanjut. Namun demikian, BI akan selalu siap jika sudah ada permintaan pemerintah.
Sebelumnya, Sri Mulyani memaparkan setidaknya ada dua alasan mengapa penyederhanaan nilai mata uang harus dilakukan.
Pertama, untuk menimbulkan efisiensi berupa percepatan waktu transaksi, berkurangnya resiko human error, dan efisiensi pencantuman harga barang/jasa karena sederhananya jumlah digit rupiah.
Kedua, untuk menyederhanakan sistem transaksi, akuntansi dan pelaporan APBN karena tidak banyaknya atau berkurangnya jumlah digit rupiah.
Perbedaan Redenominasi Dengan Sanering
Rencana dalam RUU Redenominasi rupiah menetapkan, penyederhanaan rupiah akan dilakukan dengan mengurangi tiga angka nol di belakang, contohnya Rp 1.000 menjadi Rp 1.
Merujuk Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), redenominasi terdefinisikan sebagai penyederhanaan nilai mata uang rupiah tanpa mengubah nilai tukarnya. Redenominasi bertujuan untuk menyederhanakan jumlah digit pada pecahan rupiah tanpa mengurangi daya beli, harga atau nilai rupiah terhadap harga barang dan/atau jasa.
Dari definisi versi KBBI tersebut, kesimpulannya bahwa redenominasi berbeda dengan sanering atau pemotongan (nilai) uang. Sebagaimana yang pernah terjadi di Indonesia pada pengujung 1950-an, tepatnya pada 25 Agustus 1959. Saat itu, uang pecahan 500 dan 1.000 rupiah pemerintah menurunkan nilainya menjadi 50 rupiah dan 100 rupiah.
Dengan kata lain, nilai uang terpangkas hingga 90 persen. Kebijakan sanering pada waktu itu pemerintah menyebutnya dengan istilah “penyehatan uang”. Tujuannya untuk mencegah inflasi semakin tinggi, mengendalikan harga, meningkatkan nilai mata uang, dan memungut keuntungan tersembunyi dari perdagangan.
Sanering bertujuan juga untuk mengurangi jumlah persediaan dan peredaran uang, dari 34 miliar rupiah menjadi 21 miliar rupiah. (Hariyono, Penerapan Status Bahaya di Indonesia: Sejak Pemerintah Kolonial Belanda hingga Pemerintah Orde Baru, 2008: 271).
Oleh karena itu, berbeda dengan sanering, redenominasi tidak mengurangi nilai mata uang, sehingga tidak mempengaruhi harga barang. Redenominasi hanyalah menyederhanakan pecahan uang agar lebih efisien dalam bertransaksi. Jadi sanering itu bukan redenominasi.
Logikanya, dengan adanya sanering daya beli masyarakat menurun karena nilai uang yang mereka miliki berkurang, sementara harga barang tetap normal. Contoh sanering semisal uang Rp10.000, kemudian turun nilainya menjadi Rp10. Jika sebelumnya harga sepotong roti itu Rp10.000 per bungkus, setelah penerapan sanering maka harga roti tersebut tetap sama. Tapi kita mesti merogoh kocek berlipat ganda untuk bisa membeli roti tersebut. Otomatis, daya beli berpotensi menurun drastis saat terjadi sanering.
Sedangkan redenominasi, secara teknis, uang yang sudah diredenominasi, jumlah angkanya akan mengecil tapi nilainya tetap sama. Contoh redenominasi adalah uang Rp10.000, setelah redenominasi, maka tiga angka di belakang akan hilang. Penulisannya berubah Rp10 saja dan nilai uang masih sama dengan sepuluh ribu rupiah. Jika kita biasanya membeli susu seharga Rp10.000 per kaleng, setelah redenominasi rupiah, maka harga roti tersebut berubah Rp10 per kaleng.
Masyarakat Sudah Menerapkan Redenominasi Tanpa Mereka Sadari
Jika melihat fenomena di masyarakat, pada saat ini tanpa tersadari sebenarnya masyarakat secara tidak langsung telah menerapkan redenominasi rupiah meski secara informal. Jika kita berjalan-jalan di mall, restoran, café, atau bioskop, terpampang daftar harga/tarif dengan embel-embel “K” di belakang digitnya.
Contohnya untuk menu nasi soto ayam seharga Rp30.000 per porsi hanya tercantum 30 K saja. ‘K’ di sini memiliki arti umum kelipatan seribu. Atau harga kudapan di bioskop, sekantong popcorn seharga Rp 42.000 hanya dicantumkan 42 K saja.
Bahkan di pasar-pasar tradisional kalau kita perhatikan, transaksi antara pedagang dan pembeli juga sudah mulai sederhana dalam penyebutan nominal rupiah saat tawar-menawar. Misalnya, pedagang buah menawarkan sekilo jeruk dengan harga Rp30.000, dan pembeli menawarnya hanya menyebut 20 saja yang artinya Rp20.000 per kilogram.
Dari fenomena tersebut, tanpa tersadari, sebetulnya masyarakat secara tidak langsung sudah menerapkan redenominasi rupiah meski secara informal. Artinya selama ini tidak ada ketentuan resmi dari otoritas moneter Bank Indonesia. Namun masyarakat sudah biasa melakukannya dalam transaksi dan pencatatan rupiah sehari-hari.
Kabar Terbaru Redenominasi Rupiah Dan Tujuannya
Tujuan utama redenominasi adalah menyederhanakan pecahan uang agar lebih efisien dan nyaman dalam transaksi serta efektif dalam pencatatan pembukuan keuangan.
Mengutip penjelasan Permana dalam riset berjudul Prospects of Redenomination Implementation in Indonesia, (Jurnal Ekonomi dan Kebijakan Publik, 2015:115). Pecahan mata uang rupiah saat ini merupakan pecahan mata uang terbesar ketiga di dunia setelah Zimbabwe dan Vietnam.
Untuk kawasan Asia Tenggara, pecahan Rp100.000 saat ini merupakan pecahan uang terbesar kedua setelah Dong Vietnam dengan denominasi 500.000. Pecahan uang rupiah yang cukup besar ini beberapa waktu belakangan mulai menimbulkan berbagai permasalahan bagi masyarakat. Khususnya dalam melakukan transaksi keuangan.
Melalui redenominasi, proses penghitungan menjadi lebih mudah, sebab tiga angka nol yang menyertai di belakang satuan uang tidak tergunakan lagi. Dalam hitungan perbankan, penyederhanaan digit mata uang dengan mengurangi tiga angka nol pada rupiah akan menghemat penggunaan biaya teknologi. Selain itu, bentuk penyederhanaan digit juga mempermudah untuk membaca laporan keuangan dalam praktik akuntansi.
Tujuan lainnya, agar perekonomian Indonesia bisa setara dengan negara-negara lain terutama di tingkat regional. Mata uang rupiah terasa lebih bernilai seperti mata uang negara lain. Misalnya, sebelum redenominasi US$1 saat ini adalah Rp15.300, setelah redenominasi maka US$1 menjadi Rp15,3. Di mata internasional, hal ini jelas lebih ringkas, mudah terpahami dan mencerminkan kesetaraan kredibilitas dengan negara maju lainnya.
Kabar Terbaru Redenominasi Rupiah, Apa Persiapan Kita?
Salah satu syarat yang perlu dalam rangka mempertimbangkan pelaksanaan program redenominasi adalah kondisi perekonomian negara yang stabil dan pertumbuhan ekonomi yang kuat. Agar pelaksanaan redenominasi tidak memberikan dampak yang negatif bagi perekonomian Indonesia. Maka perlu adanya pengamatan terhadap stabilitas fundamental ekonomi. Kesiapan suatu negara dalam melaksanakan redenominasi akan tercermin pada indikator makroekonominya.
Selanjutnya yaitu perlunya pemerintah mengintensifkan sosialisasi kepada masyarakat agar tidak terjadi kebingungan dalam bertransaksi. Sosialisasi redenominasi rupiah ini penting dilakukan sejak dini. Terlebih, proses pelaksanaan redenominasi, menurut BI membutuhkan waktu lebih dari tujuh tahun sebelum aktif sepenuhnya.
Berkaca dari beberapa negara yang sukses melakukan redenominasi. Turki dengan kebijakan denominasi mata uang Lira selama 10 tahun. Rumania dengan kebijakan denominasi mata uang Lira selama hampir 2 tahun. Sangan perlu sosialisasi sejak dini dan terus menerus kepada masyarakat agar masyarakat memahami bahwa kebijakan redenominasi merupakan pengurangan nominal mata uang – bukan pemotongan nilai mata uang. Hal tersebut niscaya akan membuat tingkat kepercayaan masyarakat kepada pemerintah tetap terjaga.
Sebenarnya sudah siapkah kita dengan redenominasi rupiah? Sebagai masyarakat yang cerdas, langkah pertama yang perlu kita lakukan adalah memahami redenominasi rupiah agar tidak salah paham dan takut uang kita nilainya akan berkurang.
Pastinya, redenominasi hanyalah penyederhanaan digit angka rupiah, tidak lebih. Nah, kini, melalui PMK Nomor 77/PMK.01/2020, rencana redenominasi kita harapkan benar-benar bisa dibahas dan terealisasi. Masyarakat sudah menunggu, tarif parkir yang dulunya 2.000 rupiah menjadi 2 rupiah saja. Kelak, di masa depan, akan ada satu masa. Di mana diksi “aku tidak menerima uang serupiah pun” akan menjadi lebih tidak relevan.
Penulis: Mahmud Ashari, Kepala Seksi Hukum dan Informasi KPKNL Kisaran.
djkn.kemenkeu.go.ig
Kabar Terbaru Redenominasi Rupiah
UT Hong Kong & Macau; Desain website oleh Cahaya Hanjuang