Melampaui Moderasi Beragama, Menuju Peradaban Ilmiah-Spiritual

Melampaui Moderasi Beragama

oleh : Reza A.A. Wattimena

Sekali lagi, cerita seram itu menghampiri telinga. Seorang teman yang terjebak dalam agama kematian dari tanah gersang. Begitu banyak larangan yang mencekik jiwa. Begitu banyak aturan yang tak masuk akal.

Pola beribadah yang merusak ketenangan bersama. Sikap politik yang ketinggalan jaman dan merusak. Kesombongan yang berakar pada kedunguan. Dia ingin meninggalkan agama kematian warisan keluarganya tersebut. Namun, banyak hal yang menjadi taruhan, termasuk dilepaskan selamanya dari keluarga yang amat dicintainya.

Pemerintah sudah tahu soal ini. Virus agama kematian telah lama menyerang Indonesia. Karena kebodohan, jawaban mereka satu, yakni moderasi beragama. Pada hemat saya, jawaban ini amat lemah, dan tidak menjawab permasalahan mendasar.

Tentang Moderasi Beragama

Melampaui Moderasi Beragama

Dalam arti ini, moderasi beragama adalah cara pandang dan cara hidup beragama yang menghormati perbedaan, sambil meyakini agama sendiri secara utuh. Ini adalah konsep yang digunakan untuk melawan segala bentuk radikalisme agama. Harapannya, radikalisme agama di Indonesia bisa berkurang, bahkan lenyap sama sekali. Di Indonesia, radikalisme agama kerap berujung pada sikap sombong, diskriminasi, konflik dan bahkan terorisme.

Radikalisme agama, terutama, berakar pada agama kematian, sebagaimana penjelasan di dalam teori tipologi agama. Ini adalah agama yang merusak kehidupan. Ia membunuh budaya yang sudah ada, dan menindas perempuan dari ujung kepala sampai ujung kaki.

Agama kematian mematikan akal budi dan sikap kritis umatnya, sehingga umatnya tetap bodoh. Yang paling mengerikan, agama kematian membenarkan kekerasan untuk menyebarkan ajarannya.

Di dalam teori transformasi kesadaran, radikalisme agama berada pada tahap paling rendah, yakni kesadaran distingtif-dualistik. Ada kebencian dan kecurigaan terhadap kelompok lain di dalamnya. Melihat kelompok lain sebagai obyek yang lebih rendah dan berbahaya. Moderasi beragama pun tidak menyentuh tahap tertinggi. Ia masih berada di tingkat kedua, yakni kesadaran immersif, di mana keberadaan kelompok lain dipahami, walaupun sikap egois tetap kuat.

Teori moderasi berakar pada pemikiran Aristoteles tentang keutamaan. Bagi Aristoteles, keutamaan adalah jalan tengah. Ia tidak boleh jatuh pada ekstrem apapun. Moderasi akan menghasilkan hidup yang utuh dan penuh (Eudaimonia).

Jalan tengah tidak cukup hanya menjadi konsep semata. Ia harus menjadi pembiasaan di dalam hidup sehari-hari. Keutamaan adalah persoalan habitus, kata Aristoteles. Dalam konteks agama, pemerintah Indonesia menggunakan konsep moderasi beragama tidak hanya untuk melawan radikalisme di dalam negeri, tetapi juga dalam hubungan internasional dengan komunitas global.

Dalam jangka pendek, konsep moderasi beragama memang berguna. Ia memberikan stabilitas sosial sementara untuk pelaksanaan beragam bentuk pembangunan. Namun, konsep ini tidaklah cukup. Akar masalah, yakni ketertinggalan cara berpikir (epistemic lag), tetap bercokol di dalam pola moderasi beragama. Ini tidak hanya menghambat pembangunan bangsa secara keseluruhan, tetapi juga menjadi potensi konflik terpendam di dalam masyarakat.

Ketertinggalan Cara Berpikir

Ada empat hal kiranya yang mesti orang perhatikan terkait dengan moderasi beragama. Pertama, adanya unsur kemunafikan di dalam moderasi beragama. Di satu sisi, orang ingin tetap setia menjalankan tradisi agama yang sudah berusia ribuan tahun. Banyak ajarannya yang sudah tidak lagi relevan untuk kehidupan manusia yang semakin kompleks di abad 21. Di sisi lain, orang tetap ingin mengikuti perkembangan jaman yang penuh dengan kejutan.

Ini tidak mungkin terjadi. Akhirnya, orang jatuh ke dalam kemunafikan. Orang menggunakan teknologi modern, namun dengan cara berpikir yang ketinggalan jaman, yakni penuh intoleransi dan arogansi yang berpijak pada kebodohan. Begitu banyak orang Indonesia yang hidup dengan pola ini.

Dua, moderasi beragama berakar pada kelekatan terhadap tradisi lama. Orang patuh dan melekat kuat pada tradisi yang sudah tidak lagi relevan dengan dunia. Kelekatan, apapun bentuknya, selalu menggiring orang pada penderitaan. Ia kehilangan pijakan pada dunia sebagaimana adanya, dan hidup dalam delusi yang diwariskan dari tradisi kematian yang merusak.

Tiga, kemunafikan dan kelekatan menempel kuat pada konsep moderasi beragama. Keduanya bertaut erat dengan krisis akal sehat dan lemahnya daya berpikir kritis. Tanpa akal sehat dan sikap kritis, pembangunan manusia dan negara tidak akan berlangsung. Kelompok moderat pun kerap kali terjatuh ke dalam radikalisme yang justru ingin mereka tolak.

Empat, pada tingkat pribadi, moderasi beragama menciptakan semacam kepribadian yang terpecah (split personality). Orang terjebak pada tradisi dan agama kematian, tetapi ingin ikut perkembangan peradaban yang penuh kejutan. Orang pun menderita di dalam batinnya, akibat kontradiksi personal ini. Tegangan ini tak tertahankan, dan kerap meledak menjadi konflik di dalam hubungan antar manusia.

Peradaban Ilmiah-Spiritual

Kita harus bergerak lebih dari moderasi beragama. Kita juga jelas harus membuang jauh-jauh radikalisme agama. Keduanya adalah penghambat pembangunan. Keduanya berpotensi menjadi pembunuh kehidupan.

Melampaui Moderasi Beragama

Sebagai bangsa, kita harus mendirikan peradaban ilmiah dan spiritual. Peradaban ilmiah adalah peradaban yang berpijak pada akal sehat, ilmu pengetahuan, teknologi dan sikap kritis. Segala bentuk sikap patuh buta lenyap. Segala sikap melekat bodoh pada pandangan kuno terlepas jauh-jauh.

Peradaban spiritual adalah peradaban yang mendorong manusia untuk menemukan jati dirinya yang asli. Kodrat manusia bersifat universal. Ia berada sebelum segala bentuk identitas sosial, baik itu agama, bangsa ataupun budaya. Jati diri asli tersebut juga berada sebelum pikiran dan emosi muncul.

Orang tidak lagi tertipu agama kematian dari tanah gersang. Mereka tidak lagi terpesona dengan perkembangan teknologi yang kerap menindas dan memperbodoh. Orang mencintai dan mengembangkan budaya luhur yang ia punya. Akal sehat berguna di dalam pembangunan, sambil tetap memperhatikan keseimbangan alam dan kebahagiaan batin manusia secara utuh.

Di dalam masyarakat ilmiah-spiritual, agama adalah kebebasan pribadi. Orang bebas memilih agama, ataupun tidak beragama. Orang juga bebas untuk mendalami semua agama, seperti yang saya lakukan. Seperti pandangan dari Denny JA, seorang pemikir Indonesia, melihat agama sebagai warisan kultural peradaban dunia yang bisa dinikmati oleh semua orang, tanpa kecuali.

Hanya dengan begini, Indonesia bisa memasuki masa pencerahan. Sikap ilmiah mendorong perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi yang amat membantu hidup manusia. Ruang spiritual menyediakan kejernihan dan keseimbangan batin manusia. Perpaduan keduanya akan mendorong bangsa Indonesia menuju kemajuan dan pencerahan yang sejati.

Nilai Pancasila Sejati

Melampaui Moderasi Beragama

Peradaban ilmiah-spiritual adalah peradaban Pancasila yang sejati. Ada spiritualitas, kemanusiaan, keadilan, demokrasi dan persatuan di dalamnya. Moderasi beragama tidak memadai untuk mewujudkan itu semua. Kita perlu bergerak melampaui moderasi beragama, menuju peradaban yang ilmiah sekaligus spiritual.

Pemerintah perlu mengambil pandangan ini untuk memajukan Indonesia. Pemerintah tidak boleh mengikuti pandangan rakyat yang sempit dan terbelakang, apalagi yang masih terjebak di dalam agama kematian. Sudah terlalu lama bangsa kita terjebak di abad kegelapan yang penuhi dengan kemiskinan dan kebodohan. Sudah saatnya kita bergerak maju.

(Mengutip dari sumber : rumahfilsafat.com)

Melampaui Moderasi Beragama

Red : uthkg.com

About the author : Nunik Cho
I'm nothing but everything