Menghormati Sesama Yang Hidup – Saling Memberi Dan Saling Menerima
Dalam Ajar Pikukuh Sunda, pada intinya semua yang ada di buana semesta ini semua sama mengalami hirup, hurip hingga bisa menjadi hurup. Itulah tata atau hukumnya. Tata sarira, tata nagara, tata buana hingga tata surya.
Hidup tidak hanya sebutan bagi makhluk seperti kita manusia, satwa dan tumbuhan. Tapi semua yang ada di buana semesta juga mengalami “hidup”. Entah itu air, tanah, batu, udara, api. Bentuk kimia lain, unsur, atom, hingga ke partikel sekecil-kecilnya.
Tanah bisa bersenyawa dengan semen, batu, udara dan air menjadi tembok karena mereka semua hidup. Angin tenang bisa berubah menjadi kencang karena hidup. Dingin berubah menjadi panas karena hidup. Air terepavorasi menjadi hujan, membentuk siklusnya. Bumi berputar.
Dalam hal hubungan satu dengan lainnya, ada semboyan, “Ieu buana nu boga satwa lan tumuwuh, manusa mah mung saukur nginjeum”. Ini buana milik satwa dan tumbuhan, manusia meminjamnya dari mereka. Tentu saja hal ini boleh diartikan sebagai kiasan mengenai tuntunan bahwa manusia selayaknya juga menghormati keberadaan kehidupan lainnya.
Dan sesuai dharma atau keselarasan kehidupan kepada hukum semesta, terjadi saling memberi dan menerima.
Tanpa partikel atom saling memberi, mustahil terbentuk unsur kimia (silahkan koreksi mungkin saya salah kalimatnya). Tanpa unsur kimia saling memberi mustahil terbentuk senyawa, terbentuk organ hingga ke bentuk tubuh utuh seperti bentuk tubuh manusia, bentuk satwa, bentuk tumbuhan, air , tanah, api, udara, dan sebagainya.
Selanjutnya tanpa laki-laki dan perempuan saling memberi, mustahil terjadi kelahiran manusia baru untuk kelanjutan peradaban manusia. Tanpa bertemunya kutub positif dan negatif mustahil ada terang lampu. Dan seterusnya, dan lain-lain dan sebagainya. Ini lebih ke paradoksal.
Demikianlah dengan perjalanan sejarah peradaban manusia selama jutaan tahun, akhirnya satwa dan tumbuhan juga memberi, menyediakan tubuhnya untuk menjadi santapan bagi manusia. Itu semua berdasar kepada fatalistik keberadaan hidup manusia yang sangat bergantung kepada tanah bumi. Manusia bergantung kepada semua yang hidup oleh bumi dan hidup terikat dengan tanah bumi ini.
Konsep ini juga ada perimbangannya, bahwa akan lebih bijaksana dan sebaiknya manusia mengambil seperlunya sesuai kebutuhan saja. Berdasar kepada “ieu buana nu boga satwa lan tumuwuh. Karena logika sederhana jelas segala sesuatu konsumsi manusia yang berlebihan akan menjadi racun bagi tubuh. Manusia membutuhkan secukupnya saja, tidak terlalu banyak.
Jadi soal menghormati keberadaan makhluk lain, seharusnya bukan hal baru terutama bagi bangsa Indonesia. Karena hal ini pernah diajarkan juga di masa lampau ribuan tahun lalu oleh para leluhur dari generasi ke generasi.
Dari semua hukum yang sudah tertulis di atas, masih ada hukum lain yang mengimbangi. Bahkan terjadi anomali yang memang sudah menjadi bagian dari hukum kesemestaan. Ada kelahiran, ada kematian. Daun dan bunga bersemi, lalu bergururan. Bisa terbangun, kemudian mengalami kehancuran. Anomali kelahiran dengan anggota tubuh tidak lengkap, terjadinya hujan di satu daerah dengan curah berbeda dengan daerah lain.
Tentu saja semua itu tetap dalam sudut pandang atau perspektif kita sebagai manusia. Karena bagi semesta kehidupan, semua sudah seperti itulah senyatanya, seadanya.
Menghormati Sesama Yang Hidup
UT Hong Kong & Macau; Desain website oleh Cahaya Hanjuang