Sejarah Bajawa
Nama Bajawa
Bapak H. Nainawa, seorang tokoh dan pemuka adat yang kini berusia 88 tahun menuturkan bahwa nama Bajawa sebenarnya berasal dari “ Bhajawa ” yaitu nama satu dari antara tujuh kampung di sisi barat Kota Bajawa. Tujuh kampung yang disebut “ Nua Limazua ” tersebut adalah Bhajawa, Bongiso, Bokua, Boseka, Pigasina, Boripo dan Wakomenge. Nua Limazua tersebut merupakan suatu persekutuan “ ulu eko ” yang dikenal dengan “ Ulu Atagae, Eko Tiwunitu ”.
Nua Bhajawa adalah kampung terbesar dari antara tujuh kampung tersebut dan merupakan tempat tinggal Djawatay sebagai Zelfbertuurder atau raja pertama dan Peamole sebagai raja yang kedua. Mungkin karena itulah nama Bhajawa lebih dikenal dari yang lainnya dan digunakan oleh Belanda sebagai nama pusat pemerintahan Onder Afdelling Ngada. Bhajawa kemudian berubah menjadi Bajawa karena penyesuaian pengucapan terutama bagi orang Belanda ketika itu yang tidak bisa berbahasa daerah dengan benar.
Dari aspek etimologi, kata “ Bhajawa ” terdiri dari “ bha ” yang berarti piring dan “Jawa ” yang berarti perdamaian. Jawa bisa berarti tanah Jawa. Sehingga “ Bhajawa ” bisa berarti piring perdamaian, bisa juga berarti piring dari Jawa, sama seperti “ Pigasina ” yang berarti pinggan dari Cina.
Awal Berdirinya Kota Bajawa Sampai Kemerdekaan Indonesia(1908-1945)
Dataran di sebelah timur dari tujuh kampung tersebut, yang kemudian menjadi pusat kota Bajawa, pada mulanya masih merupakan kebun ladang dengan banyak nama seperti “ Mala ”, “ Ngoraruma ”, “ Surizia ”, “ Umamoni ”, “ Padhawoli ”, “ Ngedukelu ”, dan lain-lain. Kawasan gereja dan pastoran Paroki MBC bernama Surizia, kawasan rumah jabatan Bupati, Mapolres dan Kantor Daerah lama bernama Ngoraruma, kawasan tangsi Polisi dengan nama lain lagi, dan seterusnya.
Tidak mudah menentukan tanggal, bulan dan tahun lahirnya Kota Bajawa, karena sulit mendapatkan rujukan tertulis. Walaupun demikian, penuturan Bapak H. Nainawa dan beberapa sumber lain dapat sedikit menyingkap kisah awal Kota Bajawa.
Kota Bajawa dirintis oleh penjajah Belanda. Pada tahun 1907 di bawah pimpinan Kapiten Christoffel, setelah menguasai Larantuka dan Sikka, Belanda mengadakan aksi militer untuk menguasai wilayah Ende, Ngada dan Manggarai. Pasukan Christoffel tiba di Ende dan hanya dalam waktu sekitar 2 minggu berhasil mengalahkan Rapo Oja dari Woloare dan Marilonga dari Watunggere serta menguasai wilayah Ende. Pada 27 Agustus 1907, pasukan Christoffel mulai melakukan agresi militer ke wilayah Ngada.
Melakukan Kegiatan Kerja Rodi Dan Pemungutan Pajak
Sesudah pertempuran di Rowa, Sara, Mangulewa dan Rakalaba, pada 12 September 1907 Bajawa menyerah. Di Bajawa pasukan Belanda menempati lokasi di pinggir kali Waewoki (sekitar rumah potong hewan sekarang) karena dekat mata air Waemude sebagai sumber air minum. Dalam waktu 3 bulan pasukan Christoffel berhasil menguasai seluruh wilayah Ngada dan selanjutnya pada 10 Desember 1907 seluruh wilayah Manggarai dikuasainya. Setelah pemberontakan Marilonga dapat dipadamkan pada tahun 1909 maka pada tahun 1910 seluruh wilayah Flores takluk kepada pemerintah Kolonial Belanda.
Belanda mulai mengatur pemerintahan yang pada mulanya bersifat militer di bawah pejabat militer yang disebut “ Gezaghebber ”, kemudian bersifat sipil di bawah pejabat sipil yang disebut “ Controleur ”. Mengangkat Kapiten Spruijt menggantikan Christoffel sebagai Gezaghebber Ende, van Suchtelen menjadi Gezaghebber Lio, dan Couvreur menjadi Gezaghebber mulai dari wilayah Nangapanda, Ngada, sampai Manggarai.
Agar kegiatan pemerintahan penjajah lebih tertib, keamanan lebih terkontrol dan pemungutan pajak serta kerja rodi yang sebelumnya tidak kenal oleh masyarakat Ngada, dapat terlaksana dengan baik, Belanda membentuk suatu sistem pemerintahan baru yang sangat berbeda dengan sistem tradisional. Sebelumnya, masyarakat Ngada hidup berkelompok dalam “ulu eko ”, “ nua ” dan “woe ” yang bersifat otonom dan tidak ada struktur yang lebih tinggi di atasnya. Demi efektivitas penjajahan, terbentuklah struktur baru di atasnya yaitu “ Zelfbesturende Landschap ” atau “Landschap Bestuur” yang memimpin seorang “ Zelfbestuurder ” atau raja yang Belanda angkat dari antara pemuka masyarakat setempat yang paling berpengaruh.
Pada tahun 1912, di seluruh Flores terdapat 27 Landschap Bestuur dan di wilayah Ngada terdapat 6 Landschap Bestuur yaitu Landschap Bestuur Ngada di bawah Djawatay, Nage di bawah Roga Ngole, Keo di bawah Moewa Tunga, Riung di bawah Petor Sila alias Poewa Mimak, Tadho di bawah Nagoti, dan Toring di bawah Djogo.
Penyempurnaan Struktur Onder Afdeling Ngada
Pada 1 April 1915, menurut Indisch Staatsblad Nomor 743, Afdeling Flores terbentuk dari seorang Asistant Residen berkedudukan di Ende, membawahi 7 Onder Afdeling, termasuk Onder Afdeling Ngada. Onder Afdeling Ngada dengan ibukotanya Bajawa terdiri dari 4 Landschap Bestuur yaitu Ngada dipimpin Djawatay, Nage dipimpin Roga Ngole, Keo dipimpin Moewa Tunga dan Riung dipimpin Petor Sila. Sedangkan Tadho dan Toring yang sebelumnya berdiri sendiri, bergabung dengan Riung. Karena pada tahun 1916-1917 terjadi perang Watuapi dipimpin Nipado, maka pengangkatan menjadi Bestuurder ( raja ) melalui penandatanganan Korte Verklaring ( perjanjian pendek ) sebagai pernyataan takluk kepada kerajaan Belanda baru dapat dilakukan pada 28 November 1917. Sebelum penandatanganan Korte Verklaring tersebut, Bestuurder (raja) diangkat dengan Keputusan Pemerintah ( Government Besluit ).

Pada tahun 1931/1932 struktur pemerintahan penjajahan Belanda di wilayah Ngada adalah Onder Afdeling Ngada berpusat di Bajawa dipimpin oleh Controleur (seorang Belanda), mencakupi 3 Landschap Bestuur yaitu Ngada dengan ibukota Bajawa, Nagekeo di Boawae dan Riung di Riung. Landschap Bestuur Keo dan sebagian komunitas masyarakat adat Toto bergabung dengan Nage, menjadi Landschap Bestuur Nagekeo berpusat di Boawae.
Pada tahun 1938 struktur pemerintahan penjajahan Belanda di Flores dan di wilayah Ngada mengalami penyempurnaan disesuaikan dengan Inlandsche Gemmente Ordonantie Buitengewesten ( IGOB ) yang dimuat dalam Ind. Stb. 1938 Nomor 490 jo Ind. Stb. 1938 Nomor 681. Struktur baru tersebut adalah Onder Afdeling Ngada dipimpin oleh Controleur ( orang Belanda ) mencakup 3 Landschap Bestuur yaitu Ngada, Nagekeo dan Riung masing-masing dipimpin raja. Di bawah Landschap Bestuur adalah Gemmente / Haminte dipimpin oleh Kepala Haminte / Kepala Mere atau Gemmente Hoofd yang membawahi kampung-kampung yang dipimpin oleh kepala kampung.
Menetapkan Aimere Sebagai Ibukota Onder Afdeling Ngada
Sebenarnya pada mulanya Belanda memilih Aimere sebagai ibukota Onder Afdelling Ngada karena mudah terjangkau melalui laut, sedangkan Bajawa dengan udaranya yang sejuk dan ketinggian 1.100 meter dari permukaan laut dan memang sangat cocok untuk tempat peristirahatan. Di Bajawa membangun 3 buah pesanggrahan ( penginapan ) yaitu pada bekas Kantor Kecamatan Ngadabawa, Mapolres Ngada dan Kantor Banwas Ngada sekarang. Tanah tempat bangunan pesanggrahan tersebut terpilih oleh Djawatay yang ketika itu naik menjadi Bestuurder Landschap Ngada. kemudian menetapkan Bajawa sebagai ibukota Onder Afdeling Ngada mungkin dengan pertimbangan bahwa Bajawa lebih di tengah untuk bisa menjangkau wilayah Riung dan Nagekeo, sedangkan Aimere terlalu di pinggir barat.
Ketika terbentuk Onder Afdeling Ngada pada 1 April 1915 dan menetapkan Bajawa sebagai ibukotanya, menjadikan pesanggrahan pada bekas Kantor Kecamatan Ngadabawasebagai kantor, pada Mapolres Ngada sekarang menjadi tempat tinggal Gezaaghebber / Controleur dan pada Kantor Banwas sekarang tetap menjadi pesanggrahan. Kantor Controleur kemudian terbuat dari kayu pada sisi timur pesanggrahan (pada lokasi Kantor Dinas Pendapatan sekarang). Sangat menyesalkan bangunan bersejarah tersebut, yang kemudian juga terpakai sebagai gedung DPRD Kabupaten Ngada telah runtuh dan kini berganti dengan bangunan Kantor Dinas Pendapatan Daerah Kabupaten Ngada. Sedangkan Kantor Bestuurder (raja) berada di Kampung Bajawa.
Ketika Belanda mulai menjajah wilayah Ngada secara fisik, mereka menemukan kehidupan masyarakat masih sangat sederhana bahkan primitif serta sering bergolak karena terjadinya pertikaian antara suku. Untuk itu, Belanda berupaya mendirikan sekolah rakyat, selain untuk menjalankan “ politik etis “ pemerintah Belanda, juga agar masyarakat dapat baca-tulis, tidak primitif, dan juga memperhalus budi dan perilaku sehingga mengurangi pertikaian antar suku serta mengurangi pola pikir yang tidak rasional ( takhiul atau percaya sia-sia ).
Pengiriman Guru Ke Sekolah Rakyat Katolik Bajawa
Pada tahun 1911 Gezaaghebber Koremans dan Controleur Hens menyurati lagi Misionaris Jesuit di Larantuka dengan maksud yang sama. Misionaris Jesuit di Larantuka melalui Panitia Persekolahan Flores Mengirimkan seorang guru bernama Johanes Patipeilohy pada tahun pembukaan sekolah rakyat yang pertama untuk Onder Afdeling Ngada dengan nama Sekolah Rakyat Katolik Bajawa. Sekolah pertama ini menggunakan gedung yang sekarang ini menjadi Kantor PWRI di Jalan Gajah Mada. Pada tahun 1915 datang lagi dari Larantuka seorang guru bernama Markus Fernandez.
Kedua guru tersebut sekaligus menjadi Misionaris Awam Katolik pertama untuk Bajawa. Tercatat pada 19 Oktober 1915, Mgr. Petrus Noyen, SVD, dalam kunjungan pertamanya ke Bajawa, mempermandikan 28 orang anak sekolah menjadi orang Katolik pertama di Bajawa hasil didikan kedua guru tersebut. Mgr. Petrus Noyen, SVD menginap di pesanggrahan / tempat kediaman Controleur.
Pada 28 April 1920, Mgr. Petrus Noyen, SVD bersama Pater J. de Lange, SVD dan Pater J. Ettel, SVD kembali mengunjungi Bajawa melalui Aimere dengan kapal KPM. Pada hari Minggu 9 Mei 1920 sebelum Pentekosta ada perayaan Komuni Pertama dan Krisma yang mendahului dengan permandian 30 anak. Pater Ettel mencatat peristiwa itu sebagai berikut : “ Dari dekat dan jauh semua anak sekolah berdatangan bersama guru-guru mereka. Bajawa penuh dengan kuda. Upacara berlangsung dengan gemilang, belum pernah orang menyaksikan peristiwa semacam itu. Putera sulung Hamilton ( Gezaaghebber Onder Afdeling Ngada ) termasuk anak-anak yang menerima Komuni Pertama, ayah dan puteranya sama-sama menerima Sakramen Penguatan (Krisma), suatu hal yang memberi kesan yang sangat mendalam. Di halaman Gezaaghebber menyelenggarakan suatu perjamuan pesta. Juga semua kepala desa / kampung yang mendapat undangan.”
Pembangunan Gereja Di Dekat Gedung Patronat MBC
Pada 11 Oktober 1921 berdirilah Paroki Mater Boni Consilii Bajawa, dengan Pastor Paroki pertama Pater Gerardus Schorlemer, SVD. Paroki yang baru ini belum memiliki gedung gereja, sehingga melakukan peribadatan di gedung SRK Bajawa. Pada tahun 1922 sebuah gereja kecil di bangun pada lokasi gedung Patronat MBC yang lama. Pada 19 Juni 1928 Paroki MBC Bajawa menerima surat resmi dari kantor Van Inland Zelfbestuur yang mendapat tanda tangan Raja Peamole lalu menyerahkan sebidang tanah untuk membangun gedung gereja, pastoran dan kebutuhan lain bagi umat Katolik Paroki MBC Bajawa. Selanjutnya pada Oktober 1928, mulai pembangunan gedung gereja oleh seluruh umat yang Bruder Fransiskus, SVD pimpin. Bangunan gereja bergaya Gotik tersebut rampung dan mersmikannya dalam upacara pemberkatan meriah oleh Mgr. Arnold Vestraelen, SVD pada 30 Mei 1930. Sedangkan pastoran MBC baru mulai membangun pada 14 April 1937 terpimpin oleh Bruder Coleman, SVD.

Ketika itu masih sering terjadi pembunuhan akibat pertikaian antar suku. Pemerintah membangun rumah tahanan atau penjara atau karpus yang dalam bahasa setempat menyebutnya “bui” atau “baru dheke”. Pada mulanya rumah tahanan darurat berdinding seng pada lokasi yang kemudian menjadi pasar (sekarang menjadi kantor Dinas Nakertrans). Sekitar tahun 1918 rumah tahanan berpindah lokasi ke depan tangsi Polisi dan permanen. adi Gedung tersebut sampai sekarang masih terjaga.
Untuk menjaga keamanan wilayah, di Bajawa menempatkan sejumlah tentara. Untuk itu, membangun tangsi tentara Belanda yang selanjutnya sekitar tahun 1939 beralih menjadi tangsi Polisi sampai sekarang. Sedangkan Mapolres yang ada sekarang adalah bekas pesanggrahan yang kemudian menjadi tempat kediaman Gezaaghebber.
Pembangunan Rumah Dinas
Membangun sebuah rumah sakit dalam bentuk bangunan kayu. Bangunan ini kemudian pernah menjadi Kantor Departemen Penerangan Kabupaten Ngada dan sekarang telah runtuh dan menjadi rumah dinas. Lokasi rumah sakit kemudian berpindah ke arah timur pada tempat Kantor Bappeda Ngada di Jalan Gajah Mada sekarang.
Kawasan perdagangan terletak pada sisi barat kota. Menggunakannya sebagai kantor Dinas P dan K, Dinas PU, Kantor Departemen P dan K dan terakhir menjadi tempat Dinas Nakertrans. Kompleks pertokoan berada pada sepanjang Jalan Peamole sekarang.
Sedangkan rumah tinggal Controleur yang berdiri sekitar tahun 1928-1930, hampir bersamaan waktunya dengan pembangunan gedung Gereja Paroki MBC Bajawa, kini menjadi rumah jabatan Bupati Ngada.
Membangun Penampungan Air
Untuk memenuhi kebutuhan air minum, mengambil air dari sumber mata air Waereke dan membangun pula bak penampungan yang kini masih berdiri di depan TKK Bhayangkari Bajawa. Untuk memenuhi kebutuhan akan pekuburan, sekitar tahun 1930, membuka pekuburan Katolik pada lokasinya sekarang ini.
Perkembangan kota Bajawa yang bergerak ke arah utara dan timur, mengakibatkan “ Nua Limazua ” yang sebelumnya menjadi pusat pemukiman berada di pinggir kota. Di samping itu, sering terjadinya kebakaran yang menghanguskan hampir semua rumah adat, terutama di kampung Bhajawa, Bokua dan Boseka, menyebabkan mereka mulai berpindah ke lokasi yang baru mengikuti arah perkembangan kota Bajawa. Sekitar tahun 30-an kampung Bokua dan Boseka berpindah ke arah timur pada lokasi sekitar Kantor Kelurahan Tanalodu sekarang dan sesudahnya berpindah lagi ke arah selatan kaki bukit Pipipodo, pada lokasi kampung Bokua dan Boseka sekarang. Kampung Bongiso berpindah ke arah utara bergabung dengan Wakomenge yang turun dari puncak bukit Wolowakomenge ke tempatnya sekarang. Kampung Pigasina berpindah ke arah timur berdampingan dengan kampung Boripo sekarang. Sedangkan sebagian dari warga kampung Bajawa berpindah ke arah timur membentuk kampung Bajawa B, berlokasi di sekitar Kantor Kelurahan Tanalodu sekarang dan kampung Bajawa C, berlokasi di kawasan Rumah Tahanan Bajawa sekarang.
Wilayah Haminte Ngadabawa kawasan kota Bajawa dan kampung sekitarnya yaitu Bhajawa, Bokua, Boseka, Bongiso, Boripo, Pigasina, Wakomenge, Wolowio, Beiposo, Likowali, Warusoba, Watujaji, Bowejo, Bosiko, Bejo, Bobou, Fui, Seso dan Boba. Setelah kemerdekaan, Nono Ene tergantikan oleh Thomas Siu sebagai Kepala Mere Ngadabawa melalui pemilihan langsung. Menjelang pembentukan Daerah Tingkat II Ngada, Thomas Siu terganti oleh Paulus Maku Djawa.
Dari Kemerdekaan Indonesia Sampai Terbentuknya Kabupaten Ngada (1945-1958)
Kawasan kota Bajawa hanya terdiri dari kompleks gereja dan pastoran Paroki MBC, lapangan, rumah jabatan Controleur, pesanggrahan, kantor Controleur, Sekolah Rakyat Bajawa, rumah sakit lama, pasar lama, kompleks pertokoan lama, rumah penjara, tangsi Polisi dan beberapa rumah dinas pegawai. Pemukiman penduduk berada di luar kawasan kota pada kampung-kampung sebagaimana.
Perkembangan kawasan kota Bajawa setelah kemerdekaan tahun 1945 sampai tahun 1950 berjalan sangat lambat. Keadaan Negara Indonesia yang berada dalam masa perang kemerdekaan sangat berpengaruh terhadap pertumbuhan kota Bajawa. Hampir tidak ada perkembangan. Setelah pada tahun 1950 Indonesia kembali menjadi negara kesatuan dan suasana perang berakhir, kota Bajawa mulai sedikit bertumbuh.
Pada 5 Desember 1953, para Suster Karmel Tak Berkasut membuka biara di Bajawa. Mereka langsung menempati pintu masuk kota Bajawa. Pada tahun 1954, mendirikan SRK Bajawa II ( sekarang SDK Kisanata ). Bersamaan dengan itu, SRK Bajawa I ( sekarang SDK Tanalodu ) yang berdiri pada tahun 1912 berpindah lokasi ke tempat sekarang. Kedua sekolah tersebut akhirnya berdiri berdampingan, SRK Bajawa I untuk anak laki-laki dan SRK Bajawa II untuk anak perempuan.
Pada bulan Januari 1955, Yayasan Vedapura yang berdiri di Ende membuka Kantor Cabang Vedapura di Bajawa. Menangani persekolahan Katolik untuk seluruh wilayah Ngada, Nagekeo dan Riung, dan menempati kantornya sampai sekarang di Jalan Sugiopranoto Bajawa.
Pendirian Kantor Cabang Vedapura di Bajawa
Pada 4 Maret 1957, para Suster FMM memulai karya mereka di bidang pendidikan, kesehatan dan karya sosial lainnya di Bajawa. Mereka membangun biara di luar kawasan kota bagian utara, pada lokasi yang mereka tempati sekarang di Jalan Yos Sudarso. Luas kawasan pusat kota Bajawa mengalami sedikit perkembangan dengan kehadiran biara Karmel, SMPK Sanjaya, Susteran FMM dan SRK Bajawa II.
Mengenai terpilihnya kota Bajawa menjadi ibukota Daerah Tingkat II Ngada, H. Nainawa menuturkan bahwa pada mulanya Bajawa bersaing ketat dengan Boawae sebagai calon ibukota Daerah Tingkat II Ngada yang akan terbentuk. Frans Dapangole dan Emanuel Lena sebagai utusan dari Swapraja Nagekeo mengusulkan Boawae sebagai ibukota karena lebih berada di tengah. Sedangkan utusan dari Swapraja Ngada, A. J. Siwemole dan H. Nainawa serta Jan Jos Botha sebagai Ketua Partai Katolik Ngada mengusulkan Bajawa sebagai ibukota dengan pertimbangan sejarah bahwa Bajawa ibukota Onder Afdeling Ngada rumah jabatan dan kantor-kantor peninggalan Onder Afdeling Ngada.
Sejarah Bajawa
UT Hong Kong & Macau; Desain website oleh Cahaya Hanjuang