Sejarah DJAKARTA FAIR

Bermula Dari Gambir

Jauh sebelum adanya PRJ, bahkan sebelum negara Indonesia lahir, ketika Jakarta masih menyandang nama Batavia dan dikuasai oleh Hindia Belanda, sebagai penghormatan untuk memperingati penobatan Ratu Wilhelmina sebagai Ratu Belanda, Pemerintah Hindia Belanda mengadakan pesta berupa Pasar Malam di Batavia.

Sebuah Pasar Malam Besar, saat itu diputuskan oleh Pemerintahan Gementee Batavia, Pasar Malam Besar diadakan di Koningsplein (Lapangan Monas Sekarang) atau juga dikenal sebagai Lapangan Gambir.

Pasar Malam Gambir, nama yang dikenal masyarakat luas pada waktu mula-mula diadakan, pertama kali dibuka pada 31 Agustus 1898, bertepatan dengan hari kelahiran dan penobatan Wilhelmina . Berikutnya, Pasar Gambir dibuka pada pekan terakhir Agustus dan berakhir pada pekan pertama September.

Rakyat banyak berdatangan dan agenda pasar malam gambir sukses berat. Kebesaran Pasar Gambir berpuncak pada tahun 1907 saat Van Heutz mengadakan pesta besar, disana macam-macam pertunjukan tonil ada, menurut buku almenak Hindia Belanda keluaran 1921, disebut pada tahun 1907 banyak sekali panggung-panggung, ditengahnya ada ring tinju, lalu ada kembang-kembang gula untuk anak-anak, ada lempar bola, ada olahraga ketangkasan, dan banyak orang menjual baju-baju.

Pasar Malam Gambir juga menjadi ajang “mejeng” para pemuda-pemudi di jaman lampau. Mereka tiap sore menggunakan bendi atau mobil ford T berkeliling Gambir, kebanyakan adalah sinyo-sinyo Belanda ataupun pemuda keturunan Tionghoa yang kaya raya. Malamnya diadakan pertunjukan lagu-lagu. Grup Tonil Miss Tjitjih juga pernah tampil.

Pasar Malam Gambir sebagai Pasar Malam kesukaan orang Batavia bubar ketika Jepang mendarat di Pulau Jawa pada tahun 1942.Kedatangan Jepang tak hanya meluluhlantakkan bangunan bersejarah, menghilangkan begitu banyak arsip tapi juga menghentikan kejayaan Pasar Gambir.

Di Belanda, “Pasar Gambir” berlanjut. Pasar Malam terus hadir tiap tahun di Malieveld, Den Haag sekitar Mei-Juni. Di negeri keju ini namanya menjadi Pasar Malam Tong Tong atau Pasar Malam Besar yang berisi berbagai tradisi, kuliner, kesenian, budaya yang berbau nostalgia terlebih bagi warga Belanda yang lahir di Indonesia, pernah tinggal di Indonesia, masih memiliki ikatan dengan Indonesia atau masih menyimpan cinta pada Indonesia. Selain itu juga tentu sebagai cara memperkenalkan Indonesia kepada mereka yang belum pernah tahu tentang Indonesia.

Awal DJAKARTA FAIR

Pasar Gambir kemudian hidup kembali di masa Presiden Soeharto dan Gubernur DKI Ali Sadikin, namun dengan konsep yg lebih baik dari sebelumnya dan namanya pun berubah menjadi DF yang merupakan singkatan dari Djakarta Fair (Ejaan Lama). Lambat laun ejaan tersebut berubah menjadi Jakarta Fair. Ali Sadikin merubahnya jadi Pekan Raya Jakarta dengan alasan untuk mengurangi pemakaian istilah asing di tengah kehidupan Ibukota. Lokasi pasar malam ini tak terlalu jauh berbeda dari Pasar Gambir, yaitu Lapangan Monas.

Djakarta Fair menggelar pertama kali di Kawasan Monas tanggal 15 Juni hingga 20 Juli tahun 1968, oleh Presiden Soeharto dan menandai dengan melepaskan merpati pos. Terdiri atas swasta nasional, departemen, pemerintah provinsi Sumatra Barat dan DCI Jakarta, serta perwakilan dagang negara sahabat, seperti Jerman Barat, Jepang, India, Malaysia, dan Amerika Serikat (AS), DF tidak hanya sarat hiburan, tapi juga kegiatan promosi perdagangan, jasa, pariwisata, dan lainnya. Untuk selanjutnya secara rutin hadir tiap tahun pada bulan Juni-Juli sebagai perayaan HUT Jakarta.

Sejarah DJAKARTA FAIR

Idenya muncul atau tergagas pertama kali oleh Sjamsudin Mangan atau Haji Mangan yang pada saat itu menjabat sebagai Ketua KADIN (Kamar Dagang dan Industri) yang mengusulkan suatu ajang pameran besar untuk meningkatkan pemasaran produksi dalam negeri yang kala itu sedang mulai bangkit pasca G30S/1965 kepada Gubernur DKI yang menjabat adalah Ali Sadikin atau Bang Ali pada tahun 1967.

Gagasan atau ide ini mendapat sambutan baik oleh Pemerintah DKI, karena Pemerintah DKI juga ingin membuat suatu pameran besar yang terpusat dan berlangsung dalam waktu yang lama sebagai upaya mewujudkan keinginan Pemerintah DKI yang ingin menyatukan berbagai “pasar malam” yang ketika itu masih menyebar di sejumlah wilayah Jakarta, seperti Pasar Malam Gambir yang tiap tahun berlangsung di bekas Lapangan Ikada (kini kawasan Monas), juga merupakan inspirasi dari Pameran yang mengklaim sebagai “Pameran Terbesar” ini.

Terinspirasi Dari Berbagai Event Pameran Internasional

Haji Mangan terinspirasi dari berbagai event pameran internasional yang sering mengikutinya sebagai seorang konglomerat di bidang tekstil di kala itu serta Pasar Malam Gambir yang dari dulunya sudah ramai pengunjung. Ide ini mendapat sambutan baik Pemerintah DKI dengan membuat gebrakan langsung, membentuk panitia sementara yang mempercayakan kepada Kamar Dagang dan Industri (KADIN) yang terketuai oleh Haji Mangan, dengan susunan sebagai berikut:

  • Ketua Umum : Sjamsudin Mangan
    Ketua Harian : Brigjen Usman Ismail
    Bidang Keuangan : Amaludin Ganie
    Bidang Operasi : Ir. S. Danunagoro
    Bidang Keamanan : Letkol. Drs. D. H Aritonang
    Asisten-asisten : Drs Bachtiar Lubis, Drs. S. Pakki, H. A. Manan Mangan
  • Team Pembantu :
    Ketua Koordinator : Ir. Drs. Omar Tusin
    Ketua Sekretariat : Suleiman Dahlan
    Ketua Team Operasi : Adham Yatim
    Ketua Team Keamanan : Drs. F. Hutasoit
    Ketua Team Keuangan : Noer Amin

Proyek Djakarta Fair pada masa itu di bangun hanya dalam waktu kira-kira empat bulan oleh KADIN dan menelan biaya sebesar Rp.12 Djuta.

Panggung Terbuka Di Arena PRJ

Agar lebih sah atau resmi, Pemerintah DKI mengeluarkan Peraturan Daerah (Perda) no. 8 tahun 1968 yang antara lain menetapkan bahwa PRJ akan menjadi agenda tetap tahunan dan menyelenggarakan menjelang Hari Ulang Tahun Jakarta setiap tanggal 22 Juni.

Sebuah yayasan yang memberikan nama Yayasan Penyelenggara Pameran dan Pekan Raya Jakarta juga terbentuk sebagai badan pengelola PRJ. Sesuai Perda no. 8/1968 tersebut tugas yayasan ini bukan hanya menyelenggarakan PRJ saja tetapi juga sebagai penyelenggara Arena promosi dan Hiburan Jakarta (APHJ) yang terjadwalkan berlangsung sepanjang tahun. 

Sjamsudin Mangan, Ketua Kadin ketika itu berjasa dalam menyelenggarakan Pekan Raya Jakarta yang mengubah wajah Pasar Malam Gambir “bermutasi” menjadi Djakarta Fair atau lebih mengenalnya dengan Pekan Raya Jakarta. Karena kegigihan Sjamsudin Mangan Djakarta Fair mendapat dukungan dari berbagai pihak.

Menggelar Rapat Pengganti

Sayang, sebelum melihat ide dan gagasannya terwujud Sjamsudin Mangan dipanggil yang Kuasa pada 13 April 1968 . Dua hari setelah pemakamannya, panitia Djakarta Fair menggelar rapat untuk menunjuk Brigjen Usman Ismail sebagai ketua baru

PRJ 1968 atau DF 68 berlangsung mulus dan sukses. Mega perhelatan ini mampu menyedot pengunjung tidak kurang dari 1,4 juta orang. Selanjutnya PRJ 1969 atau DF 69 “memecahkan” rekor penyelenggaraan PRJ terlama karena memakan waktu 71 hari. PRJ pada umumnya berlangsung 30 – 35 hari. Bahkan Presiden AS pada waktu itu ,Richard Nixon, datang ke Indonesia dan sempat mampir ke DF 69. Ia berhenti di sebuah stan dekat Sjamsudin Mangan Plaza dan sempat melambai-lambaikan tangannya ke pengunjung serta karyawan DF 69.

Penyelenggaraan PRJ atau Jakarta Fair ini, dari tahun ke tahun mulai mengalami perkembangan pengunjung dan pesertanya bertambah dan bertambah. Dari sekadar pasar malam, “bermutasi” menjadi ajang pameran Modern yang menampilkan berbagai produk. Areal yang terpakai juga bertambah. Dari hanya tujuh hektare di Kawasan Monas semenjak tahun 1992 pindah ke Kawasan Kemayoran Jakarta Pusat seluas 44 hektare.

Sejarah DJAKARTA FAIR

UT Hong Kong & Macau; Desain website oleh Cahaya Hanjuang

About the author : Karl Guevara
Just Newbie