Sistem Kepartaian dan Dinamika Partai Politik Pada Masa Orde Lama
Pendahuluan
Masa era Orde Lama (Orla) tersebut dengan masa demokrasi terpimpin. Pada perspektif ketatanegaraan masa ini berawal dengan Dekrit Presiden 5 Juli 1959 yang mengakhiri kemelut dan ketidakpastian ketatanegaraan. Dengan kembali berlakunya Undang-Undang Dasar 1945 menandai kembalinya era pemerintahan presidensial dengan kewenangan besar ada di tangan presiden.
Secara normative, pengelolaan pemerintahan daerah pengaturannya berdasarkan produk yang dibuat pada masa tersebut, yaitu Penetapan Presiden (Penpres) Nomor 6 tahun 1959 dan nomor 5 tahun 1960. Bahwa Penpres adalah produk hukum yang secara kelembagaan tidak ada dalam UUD 1945. Masa Orde Lama yang di bawah pimpinan Soekarno berlangsung dari 1945 hingga 1966 atau sekitar 22 tahun. Usai Indonesia menyatakan kemerdekaan, sistem pemerintahan pun mulai perombakan dari presidensial menjadi parlementer.
Di sepanjang tahun ini, meski sudah merdeka Indonesia masih terus mengalami gejolak dan peperangan. Salah satunya perang melawan Belanda untuk merebut Irian Barat. Terlebih, kabinet presidensial yang berubah menjadi kabinet parlementer memiliki sistem penerapan politik yang berbeda. Di antaranya menteri-menteri kabinet bertanggung jawab kepada DPR, kekuasaan legislatif lebih kuat daripada eksekutif, program kebijakan kabinet harus sesuai tujuan politik.
Tak hanya itu, di masa Orde Lama juga tidak terlalu banyak pembangunan untuk kepentingan masyarakat bahkan jumlahnya dapat terhitung. Salah satunya sarana olah raga yang berada di kawasan Senayan, Pabrik Baja Krakatau Steel, dan Bendungan Jatiluhur. Ketiga sarana tersebut diketahui tidak tuntas pembangunannya dan baru rampung pada masa Orde Baru.
Latar Belakang Sistem Kepartaian Dan Dinamika Partai Politik Pada Masa Orde Lama
Pada tahun 1927 Soekarno mendirikan dan menjadi pemimpin sebuah organisasi politik yang disebut Partai Nasional Indonesia (PNI) yang bertujuan untuk mencapai kemerdekaan penuh untuk Indonesia. Namun, aktivitas politik subversif ini menyebabkan penangkapan dan juga pemenjaraannya oleh rezim Pemerintah Kolonial Belanda yang represif di tahun 1929.
Bagi orang-orang Indonesia pada saat itu, pembuangan Soekarno itu malah memperkuat saja citranya sebagai pahlawan nasional dan pejuang kemerdekaan. Setelah pembebasannya, Soekarno berada dalam konflik yang terus berkelanjutan dengan pemerintahan kolonial selama tahun 1930an, menyebabkan Soekarno berkali-kali di penjara.
Waktu Jepang menginvasi Hindia Belanda pada bulan Maret 1942, Soekarno menganggap kolaborasi dengan Jepang sebagai satu-satunya cara untuk meraih kemerdekaan secara sukses. Sebuah taktik yang terbukti efektif. Sampai saat ini, masyarakat Indonesia sangat menghormati dan mengagumi Soekarno, pencetus dari nasionalisme Indonesia, karena mendedikasikan hidupnya untuk kemerdekaan Indonesia dan membawa identitas politik baru kepada negara Indonesia.
Waktu Soekarno (Presiden pertama Indonesia) bersama Mohammad Hatta (Wakil Presiden pertama Indonesia), dua nasionalis paling terkemuka di Indonesia, memproklamasikan kemerdekaan Indonesia pada 17 Agustus 1945. Bersama dengan publikasi konstitusi yang pendek dan sementara (UUD 1945), tantangan-tantangan mereka masih jauh dari berakhir. Nyatanya akan membutuhkan empat tahun revolusi lagi untuk melawan Belanda yang – setelah bebas dari Jerman di Eropa – kembali untuk mengklaim kembali koloni mereka. Belanda berkeras untuk tidak melepaskan koloni mereka di Asia Tenggara yang sangat menguntungkan namun kemudian harus menghadapi kenyataan juga.
Di bawah tekanan internasional, Belanda akhirnya mengakui kemerdekaan Indonesia pada tahun 1949 (kecuali untuk wilayah barat pulau Papua).
Namun, negosiasi dengan Belanda menghasilkan ‘Republik Indonesia Serikat’ yang memiliki konstitusi federal yang anggapannya terlalu banyak pengaruh Belanda. Oleh karena itu, konstitusi ini segera berganti dengan Undang-Undang Dasar Sementara 1950 (UUDS 1950) yang kemudian menjadi dasar hukum sistem pemerintahan parlementer, yang menjamin kebebasan individu dan mengharuskan tentara untuk tunduk kepada supremasi sipil. Posisi presiden, secara garis besar, hanya memiliki fungsi seremonial dalam sistem ini.
Perdebatan antara beberapa pihak yang berpengaruh mengenai dasar ideologis Indonesia dan hubungan organisasional antara sejumlah badan negara telah mulai sebelum proklamasi tahun 1945. Pihak-pihak ini adalah: (1) tentara, (2) kaum Islam, (3) para komunis, dan (4) para nasionalis.
Pertama, tentara Indonesia, para pahlawan Revolusi, selalu memiliki aspirasi politik sendiri. Namun, UUDS 1950, tidak menyediakan peran politik bagi para militer ini. Ini merupakan sebuah kekecewaan untuk mereka dan sumber kecurigaan terhadap pihak-pihak lain yang mendapatkan kekuatan melalui UUDS 1950. Para perwakilan dari partai-partai Islam dalam pembicaraan-pembicaraan konstitusi – meskipun dalam topik-topik lain tidak mewakili kelompok yang homogen – ingin Indonesia menjadi sebuah negara Islam yang diatur dengan hukum syariah. Namun kelompok-kelompok lain menganggap bahwa pendirian sebuah negara Islam akan membahayakan persatuan Indonesia dan bisa memicu pemberontakan dan gerakan-gerakan separatisme karena terdapat jutaan orang non-Muslim serta banyak Muslim yang tidak terlalu strik di Indonesia.
Hal lain yang menyebabkan kecemasan di pihak perwakilan partai-partai Islam maupun militer adalah kembalinya Partai Komunis Indonesia (PKI).
Setelah larangan oleh pemerintahanan kolonial pada tahun 1927 karena mengorganisir pemberontakan-pemberontakan di Jawa Barat dan Sumatra Barat, PKI meraih dukungan di Jawa Tengah dan Jawa Timur dan menjadi salah satu partai paling populer dalam skala nasional maka merupakan kekuatan politik.
Dan terakhir, ada juga para nasionalis yang menekankan kebutuhan akan jaminan hak-hak individu versus negara. Para nasionalis berjuang dalam PNI (versi partai politik dari gerakan PNI yang telah disebutkan sebelumnya, yang berdiri oleh Soekarno pada tahun 1927 dan yang bertujuan meraih kemerdekaan). PNI meraih banyak dukungan di Indonesia. Makanya Soekarno harus mencari sebuah cara untuk menyatukan sudut pandang yang berbeda-beda ini. Pada bulan Juni 1945, Soekarno menyampaikan pandangannya mengenai kebangsaan Indonesia dengan memproklamasikan filosofi Pancasila.
Demokrasi Liberal (1950-1959)
Sejarah singkat Orde Lama berlanjut ketika Indonesia menganut sistem politik Demokrasi Liberal. Di tahun ini mulai berlaku Undang-Undang Republik Indonesia Serikat serta UUDS 1950 yang menganut sistem parlementer. Situasi politik pun belum stabil bahkan keamanan negara juga cukup terancam lantaran masih banyak terjadi pemberontakan dan kehidupan rakyat tidak sejahtera.
Di samping itu, kebijakan pemerintah diatur oleh perdana menteri dan presiden hanya berhak bertindak selaku kepala negara dan mengatur pembentukan kabinet. Pengangkatan perdana menteri dilakukan oleh presiden yang sekaligus mempunyai hak membubarkan DPR. Di periode ini pun terjadi pergantian perdana menteri sebanyak delapan kali dan turut berdampak pada sistem pemerintahan. Terhitung sejak 17 Agustus 1950 sampai 5 Juli 1959, Soekarno tetap menggunakan Undang-Undang Dasar Sementara selama memerintah Indonesia.
Dewan Konstituante saat itu sempat mendapat perintah untuk menyusun UU baru sesuai amanat UUDS 1950. Akan tetapi prosesnya tidak kunjung mulai pembuatan sampai akhirnya Soekarno merilis Dekrit Presiden 5 Juli 1959 yang menyatakan pembubaran konstitusi.
Demokrasi Terpimpin (1959-1966)
Periode 1959-1966 sebutannya sebagai demokrasi terpimpin sesuai dengan hasil Dekrit Presiden 1959, yang menyatakan bahwa semua sistem pemerintahan di bawah kendali presiden sepenuhnya. Selain itu, dalam isi dekrit jelas bahwa UUD 1945 kembali diterapkan dan UUDS 1950 tidak berlaku.
Demokrasi terpimpin pertama kali pengumuman pada pembukaan Sidang Konstituante 10 November 1956. Selama periode demokrasi liberal Soekarno menilai perkembangan Indonesia terhambat karena banyak perbedaan ideologis dalam lingkar kabinet.
Dengan mulainya demokrasi terpimpin, Soekarno mulai menata kembali parlemen baru dan membubarkan parlemen lama. Kemudian satuan tentara juga terlibat dalam perpolitikan negeri sebagai kelompok fungsional, bersamaan dengan masuknya PKI untuk
menyeimbangkan. Meski menurut Soekarno adanya campur tangan PKI bisa jadi penyeimbang, nyatanya pilihan itu banyak tentangan. Sayangnya, kehadiran PKI tersebut justru menimbulkan konflik yang berujung pada puncak peristiwa G30S PKI pada 30 September 1965.
Masa Akhir Kekuasaan Soekarno (1966)
Kedekatan Soekarno dengan para PKI membuat rakyat tidak senang. Bahkan hal tersebut membuat reputasinya menurun dan sudah tidak terpercaya lagi. Terlebih rakyat juga khawatir jika pemimpin negara terlalu dekat dengan PKI akan menimbulkan munculnya paham komunisme.
Atas dasar itu, Soekarno menyerahkan jabatannya. Pada 23 Februari 1967 di Istana Negara, kekuasaan pemerintah resmi penyerahan ke pemegang Supersemar Jenderal Soeharto. Lewat Sidang MPRS di bulan berikutnya, pengunduran diri Soekarno kukuh sekaligus peresmian Presiden Soeharto sebagai pemimpin negara. Setelah kepemimpinan berada di tangan Soeharto, masa Orde Lama beralih menjadi Orde Baru sebagai tanda pergantian pemerintahan.
Kesimpulan
Dalam mengevaluasi Orde Lama di Indonesia, dapat tersimpulkan bahwa rezim ini memiliki sejumlah dampak signifikan pada sejarah, politik, dan masyarakat Indonesia. Berikut adalah beberapa poin evaluasi utama dan pengaruhnya.
Stabilitas Politik: Orde Lama di bawah kepemimpinan Presiden Soekarno berhasil mengkonsolidasikan kekuasaan politik, meskipun sering kali melalui cara otoriter. Namun, ketidakstabilan politik dan meningkatnya korupsi pada akhir masa Orde Lama menunjukkan kelemahan dalam sistem ini.
Ideologi Pancasila: Orde Lama mengadopsi Pancasila sebagai dasar ideologi negara. Meskipun Pancasila merupakan kerangka yang inklusif, implementasinya sering kali terbatas dan berguna untuk mempertahankan kekuasaan politik yang otoriter.
Pembatasan Kebebasan: Orde Lama terkenal dengan pembatasan terhadap kebebasan berpendapat, kebebasan pers, dan kebebasan berekspresi. Oposisi politik, organisasi mahasiswa, dan kelompok masyarakat sipil sering kali mendapat kecam dan perlakuan represi, menghambat perkembangan demokrasi yang sehat.
Kebijakan Ekonomi: Orde Lama menerapkan kebijakan ekonomi nasionalis yang menekankan penasionalisasian perusahaan asing dan ekonomi terencana. Meskipun tujuannya adalah untuk meningkatkan kemandirian ekonomi Indonesia, implementasinya terkadang tidak efektif dan dapat menyebabkan ketidakstabilan ekonomi.
Pengaruh dan Warisan: Orde Lama memberikan pengaruh yang kuat terhadap perkembangan politik dan sosial di Indonesia. Pengalaman Orde Lama mengajarkan pentingnya penghormatan terhadap demokrasi, perlindungan hak asasi manusia, dan kebebasan berpendapat. Gerakan reformasi pada akhir Orde Lama membuka jalan bagi perubahan sosial dan politik yang lebih demokratis di Indonesia.
Sumber Referensi :
Leo Agustino. Sistem Kepartaian dan Pemilu. Tangerang : Universitas Terbuka.
https://www.cnnindonesia.com/edukasi/20220629115824-574-814945/sejarah-singkat-orde-lama-di-bawahpemerintahan-soekarno
https://www.indonesia-investments.com/id/budaya/politik/orde-lama-soekarno/item179?file:///media/removable/SD%20Card/6.%20BAB%20I%20(1).pdf
Sistem Kepartaian Dan Dinamika Partai Politik Pada Masa Orde Lama
UT Hong Kong & Macau; Desain website oleh Cahaya Hanjuang
Artikel ini bagus bisa menampilkan sisi lain sejarah yang jarang dibahas artikel lain, contohnya bahwa Orde Lama tidak banyak melakukan pembangunan berguna untuk rakyat.