UT Adalah Pelopor

Bagi orang awam mendengar nama Universitas Terbuka (UT) itu seperti mengawang-awang. Tak pernah terpikir bagaimana sistem dan metode kuliah di UT. Bagi orang awam, pendidikan tatap muka adalah yang terbaik. Kampus konvensional pun menjadi rebutan. Sementara pembelajaran jarak jauh (PJJ) adalah sesuatu yang belum terbiasa dilakukan.

Aneh rasanya, belajar sendiri, mandiri.  Pandangan orang awam itu pun mulai terkikis dengan adanya Pandemi Covid-19. Mau tidak mau, dengan adanya pandemi, pembelajaran tatap muka berubah menjadi PJJ. Hal yang sudah UT lakukan bahkan sejak berdiri di tahun 1984, sebelum Covid-19 melanda bumi.

Banyak orang mungkin masih belum tahu, pemerintah mendirikan UT dengan niat mulia. Rektor Universitas Terbuka Prof. Ojat Darojat, M.Bus., Ph.D., pun menceritakan asal mula Universitas Terbuka berdiri 39 tahun lalu.

Kepada awak media Ojat menjelaskan, “Saat itu, Indonesia berhadapan dengan 3 masalah besar.” 

Pertama, kata Ojat, pemerataan akses pendidikan tinggi pada masyarakat di seluruh Indonesia. Bagi masyarakat yang tinggal di daerah terpencil, terluar, tidak bisa menikmati jasa Pendidikan tinggi di Indonesia. “Bisa karena masyarakat ekonomi menengah ke bawah, terkendala biaya kos, ongkos, dll.”

”Kedua, di negeri ini, pada tahun 1984 sudah terdapat banyak Perguruan Tinggi Negeri (PTN) dengan skema pendidikan konvensional (tatap muka), yang ternyata sulit penerapannya bagi orang-orang bekerja atau working people. “Sulit bagi orang yang sudah bekerja untuk mengikuti kuliah secara tatap muka. Padahal mereka ingin meningkatkan kompetensinya.”

”Ketiga, pada tahun 1984, terjadi lonjakan jumlah lulusan SLTA yang sangat signifikan dan tidak tertampung di PTN. Daya tampung PTN terbatas, sementara mereka tidak bisa masuk ke Perguruan Tinggi Swasta karena biaya terbatas. Banyak lulusan SLTA yang tidak tertampung di negeri, sehingga itu menjadi permasalahan pemerintah. Padahal mereka generasi bangsa yang akan melanjutkan tugas-tugas pembangunan selanjutnya.”

Oleh sebab 3 masalah besar yang bangsa kita alami itulah maka didirikan suatu perguruan tinggi yang terdesain secara berbeda dengan Perguruan Tinggi konvensional atau yang menerapkan pembelajaran tatap muka (PTM).

“Didirikanlah UT, dengan sistem Pembelajaran Jarak Jauh (PJJ). Tentu berawal dengan berbagai pengkajian, ada studi visit yang pemerintah lakukan ke Inggris,” tutur lelaki yang meyakini posisinya saat ini bisa dia raih berkat doa sang ibu.

Makna Terbuka

Sejumlah negara pada saat itu baru mendirikan perguruan tinggi jarak jauh dengan alasan pendirian persoalan beragam. Di antaranya adalah Inggris, India, dan Pakistan.

Di Inggris, British Open University yang saat ini berubah menjadi United Kingdom Open University (UKOU) menjadi landmark apalagi berdirinya sejak 1969.

Makna kata open, kata Ojat, mengacu ke beberapa hal. Pertama, terbuka kepada orang. “Orang itu siapa saja, laki-laki, perempuan, tua, muda. Semua boleh, tidak boleh ada yang terkecualikan, tidak boleh ada yang termarjinalkan.”

Di Indonesia, syaratnya harus memiliki ijazah SLTA. Namun, di UKOU, kata Ojat, lulusan TK atau SD pun bisa bergabung mengikuti perkuliahan. Kedua, terbuka kepada tempat. Di manapun, di belahan bumi ini, pendidikan itu harus hadir. “UT satu-satunya yang mendapat izin dari pemerintah untuk melakukan pendidikan terbuka dan jarak jauh (PTJJ).”

UT Adalah Pelopor

UT bisa terakses oleh masyarakat di manapun di Indonesia, luar negeri, di manapun mereka tinggal. Bukan hanya masyarakat yang tinggal di kota besar, tetapi juga daerah terpencil. Di pulau-pulau terluar itu harus menjadi kesempatan. Tidak termarjinalkan. Maka UT terdesain untuk memberikan pendidikan tinggi kepada seluruh masyarakat ketika mereka tidak mempunyai akses ke pendidikan tatap muka.

Ojat menuturkan, dalam konteks pendidikan jarak jauh, bukan mahasiswa yang datang ke kampus, tetapi kampus lah yang datang ke rumah-rumah mereka. “UT hadir, datang, mengetuk pintu mereka dengan bahan ajar yang terrancang khusus pendidikan jarak jauh.”

Bahan ajar itu berupa modul. Kumpulan modul-modul disebut Buku Materi Pokok. “Modul adalah sumber utama pembelajaran mahasiswa. Kepemilikan modul oleh mahasiswa, sama pentingnya dengan kehadiran dosen di ruang kuliah.”

Selain bahan ajar dalam bentuk cetak, UT juga menyediakan dalam bentuk digital. Bagi mahasiswa yang membutuhkan, UT memberikan layanan bantuan belajar dalam bentuk tutorial tatap muka (TTM).

Adanya kemajuan teknologi informasi membuat UT menyediakan layanan bantuan belajar dalam bentuk tutorial online (Tuton), tutorial webinar (Tuweb), serta tutorial melalui radio dan televisi.

Kemudian UT bisa terjangkau dan dirasakan kehadirannya oleh masyarakat di mana pun termasuk golongan ekonomi apapun, maka biaya di UT harus terjangkau. “Tidak boleh mahal, harus terjangkau oleh seluruh lapisan masyarakat,” ujar pria kelahiran 26 Oktober 1966 itu.

Biaya termahal UT adalah kisaran Rp 3,5 juta. Namun mahasiswa juga bisa mengambil per SKS dengan biaya Rp 35 ribu per SKS.

UT Adalah Pelopor

“Karena terjangkaunya biaya kuliah di UT, tak ada lagi alasan bagi masyarakat untuk tidak mengenyam Pendidikan tinggi.”

Mahasiswa UT, lanjut Ojat, bisa mengikuti ujian di mana pun. Di gunung, laut, sambil bertani, dan lainnya asalkan ada jaringan internet. Untuk menjaga kualitas SDM dan menghindari adanya joki, UT sudah menggunakan Face Recognition. Sistem itu akan menyamakan wajah mahasiswa dan juga dapat memperhatikan gerak-gerik mahasiswa jika menyontek. UT juga tidak menerapkan skripsi pada perkuliahannya.

“Skripsi hanya salah satu cara yang ditempuh PT untuk mencapai capaian pelajaran atau kompetensi. Tidak harus skripsi bisa cara yang lain. Nah, UT dari awal tidak pilih skripsi. Kita Tugas Akhir Program (TAP), Karya Ilmiah; yang sebelumnya ujian komprehensif, macem-macem.” Adanya penyesuaian, kata Ojat, adalah hakekat dari Merdeka Belajar. “Dan UT dari dulu sudah seperti itu.

”Kelebihan UT lainnya, tidak ada tes seleksi dan tidak ada drop out. Memiliki semboyan Long Life Learning, UT menjadi tempat yang tepat untuk belajar sepanjang hayat. Bahkan, Ojat tidak menampik, ada saja mahasiswanya yang baru wisuda setelah 20 atau 30 tahun mengenyam pendidikan di UT. “Waktu tempuh tidak terbatasi, bahkan bisa sampai seumur hidup dan tidak ada drop out.”

President Asian Association of Open University (AAOU) atau Asosiasi Pendidikan Jarak Jauh se-Asia periode 2020-2024 itu pun menambahkan, “UT, menjadi solusi bagi siapapun yang tidak bisa menempuh Pendidikan tinggi dengan tatap muka.”

UT Menuju 1 Juta Mahasiswa

Angka Partisipasi Kasar (APK) Pendidikan tinggi di Indonesia saat ini baru 31 persen. Artinya, masyarakat Indonesia berusia 18-23 tahun yang menikmati Pendidikan tinggi baru sebanyak 31 persen. Menurut Ojat, angka itu masih ketinggalan dengan Malaysia (40 persen), Thailand (42 persen), Singapura (70 Persen), dan Korea Selatan (90 persen). 

Menristek Dikti pada Kabinet Kerja (2014-2019) Mohamad Nasir pun sempat berpesan pada dirinya saat pelantikan sebagai Rektor UT di tahun 2017, untuk terus meningkatkan jumlah mahasiswa dan memperluas jangkauan pelayanan UT hingga pelosok Tanah Air.

UT Adalah Pelopor

Sementara Presiden Joko Widodo pernah menyampaikan pesan agar pendidikan bisa masuk ke seluruh pelosok Nusantara dengan kualitas yang baik. “Itu suatu amanah yang diberikan presiden, pemerintah untuk Indonesia Emas 2045,” kata Ojat.

Maka dari itu, sejak memimpin UT, Ojat pun mencanangkan program layanan “Melesat Menjadi Satu Juta Mahasiswa”. Sebagai langkah awal jumlah mahasiswa targetnya 500 ribu di UT pada akhir tahun 2023. “Alhamdulillah, target awal itu terlampaui pada 18 September. Sebanyak 525,360 mahasiswa telah melakukan pembayaran registrasi.”

UT terus-menerus meningkatkan kualitas layanan di semua bidang. Dari sisi kualitas SDM pun siap. Oleh karena itu, banyaknya public figure dan tokoh nasional yang berkuliah di UT juga menunjukkan pendidikan yang UT tawarkan semakin diminati. “Word of mouth bisa terjadi jika terdapat kesan yang baik dari para mahasiswa itu ketika kuliah di UT.”

Adapun para public figure itu antara lain Anang Hermansyah, Tamara Geraldine, Dina Lorenza, Rey Mbayang, Angga Yunanda, Bayu Oktara, Bonita eks JKT 48, Novi Herlina, dan lainnya. Juga atlet nasional seperti Candra Wijaya. Sementara tokoh publik di antaranya Bambang Soesatyo, Moeldoko, Wiranto, AM Hendropriyono, Hadi Tjahjanto, (Almh) Ani Yudhoyono, dan masih banyak lagi. 

“Kalau dulu, UT lebih banyak mahasiswa yang berprofesi sebagai guru, sekarang banyak juga yang berprofesi sebagai polisi. Dan kini para artis dan tokoh publik juga banyak yang ingin kuliah di UT.”

Tantangan UT ke Depan

Ojat Darojat mengakui, masih ada beberapa tantangan ke depan yang harus  UT hadapi. Masyarakat masih banyak yang belum memahami sistem pendidikan UT. Banyak orang belum memahami mengapa UT berdiri. 

Ojat mencontohkan, dalam hal sertifikasi, instrumen akreditasi yang UT gunakan terkadang tidak sesuai dengan konsep PJJ. Kampus yang sedari awal sudah memiliki konsep yang berbeda dengan Pendidikan tatap muka (PTM), harus mengikuti standar PTM.  

UT Adalah Pelopor

Sudah ada upaya pemerintah untuk membuat instrumen PJJ, tetapi masih ada bagian dari instrumen yang belum sesuai. Seperti misalnya UT dianggap tidak menerapkan seleksi akademik untuk mahasiswa, padahal memang dari awal UT berdiri untuk memudahkan masyarakat mengenyam pendidikan tinggi. Hal lain, bagaimana UT terus meningkatkan kolaborasi kemitraan, resource sharing dengan berbagai mitra.

“UT agar bisa murah maka konsep pengembangannya itu resource sharing. Di awal pendirian UT sudah dinyatakan seperti itu,” kata Ojat.

UT tidak perlu memerlukan banyak dosen, tidak perlu banyak profesor, dan tidak perlu mendirikan laboratorium di seluruh Indonesia. Demikian Tutur Ojat.

“Kita resource sharing dengan yang lain, termasuk dosen. Kalau kita merekrut karyawan tutor atau dosen, mendirikan lab di seluruh Indonesia, biaya kuliah akan menjadi mahal. UT tidak boleh begitu. Yang penting akses untuk mendapatkan lab dan tutor tersediakan. Misalnya saja, kampus PTN lain memiliki professor, UT tidak begitu, tetapi UT bisa minta tolong para profesor itu untuk membuat bahan ajar misalnya. Dibuat dalam bentuk modul dan disebarkan kepada mahasiswa kita.”

“UT akan terus membangun kerja sama, mari bersinergi dalam rangka menyukseskan program pemerintah, mencerdaskan anak bangsa dan kita tidak pernah menganggap sebagai kompetitor. Semua adalah kawan yang punya tugas bersama-sama.”

Dia menambahkan, “Untuk sukses tidak bisa sendiri, perlu bekerja sama, UT siap bekerja sama dengan lembaga manapun.” 

Kendala lainnya, banyak mahasiswa UT kesulitan mengakses internet. Terutama untuk daerah terpencil. “Saya membutuhkan BTS untuk mereka bisa menikmati bahan ajar online yang sudah kita siapkan. Selama ini di area terpencil, banyak mahasiswa UT sampai mahasiswa naik ke pohon, saking ingin ikut kuliah online. Oleh karena itu, perlu dukungan pemerintah bagaimana kebutuhan BTS bisa terpenuhi di lapangan” 

Sumber : nasional.tempo.co

UT Adalah Pelopor

Media Universitas Terbuka Hong Kong & Macau Uthkg.com

About the author : Nunik Cho
I'm nothing but everything